Pembelajaran Kasus Pesawat Sriwijaya Air (SJ182)
Saya dan kita semua sebagai Bangsa Indonesia ikut prihatin, dan berduka atas musibah yang menimpa Pesawat Sriwijaya Air (SJ182), semoga para penumpang, dan Craw pesawat yang mengalami musibah ini yang meninggal dunia dapat diterima di sisi Tuhan Yang Maha Esa. Dan keluarga diberikan pengiburan Rahmat Kasih Tuhan Yang Maha Esa, Amin.
Terlepas dari duka cita mendalam ini maka pertanyannya adalah Pembelajaran apa yang bisa diperoleh dari Kasus Pesawat Sriwijaya Air SJ182?
Secara umum apapun didunia ini pasti apa yang disebut "risiko". Suatu keadaan yang ada dengan sendirinya, atau suatu kondisi yang tidak mampu ditundukkan dengan akal budi rasionalitas atau dalam istilah filsafat disebut "resistensi hukum alam semesta" yang tidak tuduk pada logika manusia. Risiko ini dalam kajian ilmu ekonomi dan bisnis sangat sering dibahas diformulasikan dalam berbagai kasus. Sampai akhirnya ada tema besar disebut "high risk, high return".
Artinya industri penerbangan termasuk dalam kategori "high risk, high return". Memiliki risiko tinggi, dan return tinggi. Risiko tinggi yang dimaksud adalah berhubungan dengan modal investasi dan teknologi, kapasitas SDM unggul, keamanan, dan tata kelola yang baik. Sementara antinomy atau paradoks terjadi ketika industri penerbangan menerapkan "penerbangan dengan tariff rendah- berbiaya rendah (artinya returnnya tidak tinggi). Maka fenomena industri penerbangan di Indonesia mungkin ada potensi pelanggaran dokrin bisnis pada "high risk, high return".
Tetapi ini bukan penyebab tunggal "high risk, high return" mesti dikaji lagi kondisional Negara Kepulauan Indonesia yang sangat membutuhkan kehadiran industri penerbangan untuk mendistibusikan manusia, dan barang. Maka masalah teknologi dapat berupa bagaimana menciptakan alat dan mekanisme yang tepat untuk membuat pekerjaan lebih efisien, sementara masalah epistemik berkisar dari strategi pemasaran hingga memaksimalkan keuntungan.
Supaya tulisan ini memiliki system deduksi rasional yang baik pada pertanyaan Pembelajaran apa yang bisa diperoleh dari Kasus Pesawat Sriwijaya Air (SJ182), maka saya meminjam dasar pemikiran 3 Dokrin rerangka Aristotle pada "Etika Nicomachean", yang menetapkan tiga jenis pengetahuan berbeda yang diperlukan untuk memecahkan masalah: "Techne, Episteme dan Phronesis". Dengan 3 pendekatan ini maka problem Industri penerbangan secara umum di Indonesia menjadi dapat dijawab dengan baik;
Pertama memecahkan masalah industri penerbangan dengan pendekatan {"Techne"} adalah keterampilan atau pengetahuan kerajinan; kemampuan menggunakan alat atau teknik infrastruktur system dan sub system penerbangan untuk menciptakan sesuatu dapat berjalan sesuai dengan tatanannya.
Kata techne adalah seni, kerajinan, atau disiplin sejati. Bentuk jamaknya adalah technai. Ini sering diterjemahkan sebagai "kerajinan" atau "seni" dalam arti menjadi keterampilan yang dipelajari yang kemudian diterapkan atau diaktifkan dengan cara tertentu, pada industri penerbangan. Kata sebagai sebuah teknologi: tidak hanya keterampilan untuk berkomunikasi secara efektif tetapi system penerbangan yang koheren untuk menganalisis semua kondisi fenomena alam, manusia, dan teknologi.
Pada kasus Industri penerbangan maka techne dalam arti penuh: aktivitas yang dilakukannya tidak hanya kognitif (semua stakeholders) tetapi juga transformatif dan praktis. Ia tidak membatasi dirinya untuk menyampaikan fakta netral dan disterilkan (yang didokumentasikan), tetapi tujuannya adalah untuk membawa keselamatan umat manusia; untuk menghasilkan efek baik pada mereka; untuk membentuk mereka; untuk membuat mereka berbeda sebagai akibat dari dampaknya".
Dan akhirnya tidak ada disebut human error secara teknologi karena sudah memenuhi ekspresi "logoc techne" termasuk kemapuan penyesuaian dengan setiap jenis alam. Kongkritnya techne sebagai model pengetahuan atau kompetensi secara khusus industri penerbangan.