Apa itu Filsafat Satire
Secara umum pengertian Satire adalah genre sastra dan seni pertunjukan, di mana kejahatan, kebodohan, pelanggaran, kekurangan akal logika, kurang pengetahuan, dan kekurangan kesadaran dan sejenisnya pantas menjadi bahan ejekan, cemohaan, tertawaan, atau kekonyolan.
Tema Satire bertujuan mempermalukan individu, perusahaan, pemerintah, atau masyarakat itu sendiri supaya ada repleksi diri untuk menjadi perbaikan, atau semacam upaya kritik untuk mengembalikan kepada kemampuan fakat, kemudian logika atau fakultas akal budi.
Sekalipun secara umum satire biasanya dimaksudkan untuk menjadi humor, bahan cemohoan, bahan tertawaan, tetapi Satire sebenarnya wujud pemikiran kritik sosial, menggunakan kecerdasan metafora, logika retorika, dialketika untuk menarik perhatian pada isu-isu khusus dan luas dalam masyarakat sebagai bentuk kebodohan atau kegagalan berpikir maupun kegagalan bertindak.
Satire atau sindiran adalah metafora ke syllogism [deduksi] seperti tragedy akal gagal, kejahatan, korupsi, ketidakmampuan isi otak kemudian melahirkan ironi, atau sarkasme, parodi, mempermalukan, mengolok-olok, analogi, sampai akhirnya pelecehan pada tindakan yang salah atas martabat manusia.
Filsafat Satire sudah ada sejak tradisi Yunani Kuna, bentuk sikap geram pada kebodohan atau "ignorance" berbentok olok-olok, atau tawa yang mengalahkan orang, bukan pada komedi, kecerdasan, atau lelucon.
Sinyal bermain tertua pada manusia adalah tersenyum dan tertawa. Menurut ahli etologi, berevolusi dari sinyal permainan serupa pada kera pra-manusia. Kera yang berevolusi menjadi Homo sapiens terpisah dari kera yang berevolusi menjadi simpanse dan gorila sekitar enam juta tahun yang lalu.
Pada simpanse dan gorila, seperti pada mamalia lain, bermain biasanya mengambil bentuk agresi tiruan seperti mengejar, bergulat, menggigit, dan menggelitik.
Menurut banyak etolog, agresi tiruan adalah bentuk permainan paling awal, yang darinya semua permainan lain berkembang diawali pada senyum, tawa, dan tangisan;
Pada tradisi Yunani Kuna Platon, kritikus tawa atau Filsafat Satire sudah paling berpengaruh, memperlakukannya sebagai emosi yang mengesampingkan pengendalian diri yang rasional.
Pada teks buku Politea atau Buku 3 [tiga] Republik (3.388e), mengatakan Penjaga negara [presiden, kanselir, perdana menteri, atau raja] harus menghindari tawa, "karena biasanya ketika seseorang membiarkan dirinya tertawa terbahak-bahak, kondisinya memicu reaksi keras."