Filsafat Hedonisme
Hedonisme menyatakan sesuatu itu baik, adalah sesuatu yang menyenangkan, atau mencari kesenangan, dan menghindari penderitaan; Filsafat Hedonisme adalah basis filsafat moral. Pada awalnya teori naturalistic tentang Hedonisme, merupakan dua bentuk [1] pencarian kesenangan seperti dikemukakan oleh Democritus dan Aristipus; [2] pencarian eudaimonia sebagai sesuatu yang baik secara persola adalah bentuk kebahagian seperti Socrates;
Tentang eudaimonia memberikan karakter pada etika Yunani dan melibatkan pencapaian berlebihan terhadap tujuan sederhana dalam menemukan kebahagian dan menghindari penderitaan. Dan etika Yunani pada dasarnya bersifat "telelogis" yang berhubungan dengan tujuan kehidupan yang baik, atau sifat kebaikan sebagai tujuan hidup;
Seperti dikembangkan oleh Platon, Eudaimonisme menjadi bersifat nonnaturalistik dalam arti baik tidak dapat direduksi kedalam perasaan bahagia atau fenomena natural lainnya tetapi lebih mendekati atau dialami dalam kondisi metafisik sebagai semua bentuk kebaikkan. Etika yang dikembangkan oleh Socrates, Platon, dan Aristotle merupakan bentuk nonnaturalistik yang paling baik dibandingkan naturalistic sekalipun terdapat unsur-unsur Hedonisme didalamnya;
Maka Hedonisme berpangkal pada sifat egoistic manusia. Pada era filsafat modern Richard Cumberland (1732-1811), dan Jeremy Bentham [1748-1832] mengkonversi hedonisme tersebut ke dalam bentuk lebih kontemporer [hedonisme utilitarian. Bentham mengembangkan bentuk Hedonisme utilitarian yang bersifat kuantitatif yang mengacu pada prinsip utility [kegunaan], di mana "kebahagian terbaik adalah dihitung berdasarkan jumlah terbanyak [for the great happiness, for the great numbers] sebagai standar moral yang berlaku universal;
Dengan mendasari kekurangan secara inheren dalam utilitarianme Jeremy Bentham, dan John Stuart Mill, (1806-1873), yang kemudian memodifikasikan dengan pendekatan interprestasi kualitatif. Maka berangkat pada kecenderungan sosial yang ada pada filsafat moral Mill, maka kemudian John Dewey, (1859-1952), mengembangkan filsafat moral instrumental atau pragmatic. Namun tetap mengembangkan filsafat moral Mill, tentang kebaikan dan nilai-nilai intrinsic didalamnya, dan bukan melihat tujuan hedonisme yang hanya mencari kesenangan dan menghindari penderitaan [etika babi].
Sebagai utilitarianisme ideal, seperti dikemukakan oleh Mill maka utilitarianisme menjadi terkait dengan instuisionisme etis. Berangkat dari sifatnya yang umum, utilitarinisme dinilai berdasarkan konsekwensi atau akibat-akibatnya;
Filsafat moral Utilitarianisme mempertanyakan "akibat perbuatan yang akan timbul dari sebuah tindakan sebagai konsekwensinya"; Aturan Utilitarianisme mempertanyakan "akibat apa yang akan terjadi jika setiap manusia melakukan perbuatan ini pada situasi ini;
Jadi utilitarianisme akan memunculkan kebaikkan intrinsik, dan aturan utilitarianisme menyatakan seseorang harus berbuat menurut aturan yang akan menimbulkan kebaikan intrinsik, Akhirnya aturan utilitarianisme berbeda dengan bertindak utilitarianisme di satu sisi, dan etika kewajiban/deontologis pada sisi lain;
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H