Perspektif Filsafat tentang Korupsi Sebagai Dosa
Saya Kutip pada Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Begini Kronologi OTT KPK yang Menjaring Komisioner KPU Wahyu Setiawan; Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) menetapkan Komisioner Komisi Pemilihan Umum Wahyu Setiawan sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait penetapan anggota DPR terpilih periode 2019-2024.
Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar menyatakan, Wahyu ditetapkan sebagai tersangka setelah rangkaian operasi tangkap tangan di sejumlah lokasi yang menjaring sebanyak delapan orang. "Dalam kegiatan tangkap tangan ini, KPK mengamankan delapan orang pada Rabu-Kamis, 8-9 Januari 2020 di Jakarta, Depok, dan Banyumas," kata Lili dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Kamis (9/1/2020).
Bagimana pandangan filsafat tentang korupsi sebagai bentuk dosa dalam berbagai sudut padang; "Dosa bukan hanya tentang melanggar aturan. Ini tentang kurangnya kesesuaian antara aspek-aspek diri manusia, " Ketidaksesuaian ini, sering kali dalam "cara menjalani hidup. Itu tidak cocok dengan apa yang diakui untuk percaya dalam artian seluas-luasnya. "
Bagi Platon dan Aristotle, akrasia pada dasarnya tidak ada. Platon tidak melihat bagaimana bisa melawan apa yang dipikir terbaik. Jika pilihan entah bagaimana salah, itu adalah kesalahan ketidaktahuan daripada ketidaktaatan yang disengaja terhadap penilaian kita yang lebih baik. Konsepsi Yunani tentang akrasia melalui Aristotle percaya alasan kita dapat dikalahkan oleh nafsu sehingga tidak membuat penilaian tentang apa yang terbaik.
Konsep Aristotle adalah "Anda tidak pernah bertindak bertentangan dengan apa yang dianggap terbaik dan karenanya tidak pernah berbuat dosa atau kesalahan diakibatkan kebodohan, dan tidak ada manusia jahat didunia ini. Artinya kesalahan atau dosa akibat kegagalan pengetahun pada kebaikkan atau perbuatan kebaikkan yang meleset dan tidak sampai."
Pada abad pertengahan Augustine dan Aquinas, akrasia memang ada. Agustinus percaya manusia bisa berdosa karena keinginan untuk melakukan yang menurut manusia paling baik adalah lemah. Aquinas percaya berdosa karena kehendak kita dapat berfantasi dan merasionalisasi apa yang kita anggap terbaik sehingga itu sesuai dengan apa yang ingin kita lakukan.
Di zaman modern, Descartes percaya pada akrasia tetapi mengatakan cara untuk menghindarinya bukan dengan memperkuat kehendak seseorang, tetapi dengan membatasi asupan nafsu yang disebabkan oleh keingian tubuh tidak dapat dikendalikan oleh rasionalitas terutama uang, jabatan, makanan, dan nafsu seks.
Pada orang lain di zaman modern mengambil pendekatan yang berbeda. Mengacu pada gagasan Baruch Spinoza,, "Ketika manusia menyadari kesatuan dengan Tuhan, manusia merasakan emosi positif yang memotivasi untuk melakukan apa yang menurutnya terbaik."
Perspektif menjadi satu dengan Tuhan, adalah hal baru alat untuk mengatasi dosa. Dalam kata-kata Spinoza, "Kamu tidak bersukacita dalam Tuhan karena kamu mengendalikan nafsumu, kamu mengendalikan nafsumu karena kamu bersukacita dalam Tuhan dan kamu hidup dan bergerak di dalam dia."
Hegel memiliki pemahaman lain tentang akrasia. Hegel menyatakan sebagai "kesadaran palsu." Hegel percaya manusia bersalah atas kesadaran palsu ketika tindakan tidak bergerak dengan roh dunia yang menyebabkan terputusnya hubungan antara apa yang kita anggap terbaik dari cara kita diwujudkan dan hidup di dunia.