Republik Demokratik Kongo (DRC) tidak akan pernah melupakan catatan sejarah jatuhnya kekuasaan Mobutu Sese Seko pada tahun 1997. Mantan Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan menyatakan negara itu dalam kondisi bahaya sampai beberapa tahun kedepan apalagi jika melihat peristiwa penundaan pemilihan Presiden Joseph Kabila yang seharusnya terjadi pada tahun 2016.
Kemiskinan endemik di Kongo jauh dari optimisme tanpa batas yang menyapa kemerdekaan negara itu pada 30 Juni 1960. Perdana menteri pertama negara itu, Patrice Lumumba, ingin mengatasi ketimpangan pendapatan.
Namun Kongo segera turun ke perang saudara. Lima tahun setelah kemerdekaan, Joseph Mobutu, pemimpin pasukan Kongo, mengambil alih kekuasaan dalam kudeta tak berdarah. Pemerintahan Joseph Mobutu disambut dengan optimisme tetapi berakhir dengan penurunan besar dalam pelayanan negara setelah ia menggelapkan dana pembangunan internasional.
Joseph Mobutu dikudeta oleh Laurent Desire Kabila. Kabila menjadi pemimpin Aliansi Pasukan Demokratik yang baru dibentuk untuk Pembebasan Kongo-Zaire. Ketika oposisi terhadap kepemimpinan diktatorial Mobutu tumbuh, ia mengumpulkan pasukan yang sebagian besar terdiri Tutsi dari Zaire timur dan berbaris ke barat menuju ibu kota Kinshasa, memaksa Mobutu untuk melarikan diri dari negara itu.
Pada 17 Mei 1997, Kabila mengangkat dirinya sebagai kepala negara dan mengembalikan nama negara itu ke Republik Demokratik Kongo. Laurent Desire Kabila Presiden Republik Demokratik Kongo 17 Mei 1997 sampai 16 Januri 2001.
Pada 16 Januari 2001, seorang pengawal menembak Presiden Laurent Kabila di istana presiden Kinshasa. Dua hari kemudian pejabat Kongo mengumumkan kematiannya. Putranya, Joseph Kabila, menjadi presiden Kongo berikutnya.
Joseph Kabila sampai saat ini masih memerintah dan keluarganya telah membangun kerajaan bisnis yang luas di belakang kekuatan politiknya. Sejak dekolonisasi, Kongo tidak pernah diperintah oleh orang-orang yang mengutamakan kepentingan negara. Ini berarti bahwa kekayaan mineral tambang dan pertaniannya yang besar belum digunakan untuk melayani rakyatnya.
Muncul pertanyaan besar mengapa Laurent Desire Kabila mampu membrontak atau melakukan kudeta pada pemerintahan Joseph Mobutu atau dikenal sebagai Mobutu-Sese Seko.
Ke [1] Jauh sebelum kejatuhannya Rezim Mobutu pernah meminta perlindungan untuk bertahan hidup dalam menghadapi keruntuhan ekonomi dan ia menemukannya di Amerika Serikat.
Namun rezim kleptokratik Mobutu hancur begitu Perang Dingin berakhir. Alih-alih mendukung rezim otokratisnya, AS menekan Mobutu untuk mendemokratisasi. Pada tahun 1990, Mobutu menyetujui demokrasi multi-partai. Tetapi rincian kebijakan baru ini ditunda dan tentara menggunakan kekosongan kekuasaan ini untuk melakukan penjarahan pada bulan September 1991.
Pada tahun 1992, Konferensi Nasional Berdaulat (SNC) diadakan untuk memutuskan bentuk sistem multi-partai yang akan diambil. Alih-alih melanjutkan pekerjaan SNC, Mobutu berhasil menebarkan perpecahan di antara para delegasi dan berhasil tetap berkuasa.