Tiga Filsafat Mental {Geist} Bapak Presiden Joko Widodo
- Lamun siro sekti, ojo mateni
- Lamun siro banter, ojo ndhisiki
- Lamun siro pinter, ojo minteri
Supaya tafsir tidak menimbulkan salah dan picik, dan dangkal otak curang atau kurang pemahaman 3 tema {" Lamun siro sekti, ojo mateni; Lamun siro banter, ojo ndhisiki; Lamun siro pinter, ojo minteri"} berlaku universal, bukan dominasi suku bangsa apapun. Seungguhnya meskipun dipakai dalam metafora kata "Jawa Kuna" tidak dimaknai sebagai pengertian "suku" dalam artian sempit, tapi dikaitkan dengan "hakekat umum manusia".
Jadi kata "Jawa" adalah kata sifat, maka orang Jerman, Italia, Jepang, Rusia, Amerika, Spanyol, bisa menjadi orang Jawa jika hidupnya dilaksanakan dengan menginternalisasikan nilai-nilai hidup Jawa, demikian sebaliknya. Atau Orang Dayak bisa menjadi orang Jawa, atau sebaliknya atau suku lainnya di dunia ini. Jadi Kata metafora dalam terma istilah Jawa tidak bisa dipahami dengan cara picik, licik, dan sempit dengan satu sudut pandang [world view] sewenang wenang..
Maka kata Jawa dimaknai dalam tulisan saya ini meminjam teori Hans Georg Gadamer [1900-2002] pada konsep "Bildung" atau proses belajar sehingga menjadi terbentuk menjadi terpelajar/ terdidik, mental bertanggungjawab, manusia tidak picik mau belajar banyak mendengar manusia lain atau kebudayaan lain, saling menghormati, menerima perbedaan, sebagai hasil pengalaman Hermenutika. Tidak mungkin memahami 3 "metafora Jawa Kuna" ini dengan picik memungkinkan memperoleh "episteme" yang baik berguna. Maka Kata Sifat "Jawa Kuna atau Indonesia Lama adalah semacam trans-substansi ["Kearifan Lokal Indonesia Kuna"] dan perlu dipahami untuk Indonesia menjadi lebih baik, sesuai amat UUD 1945 yakni mencerdas kehidupan bangsa.
Demikian juga jika mengandaikan data pada tulisan ini bahwa (1) Sensus Penduduk tahun 2010 (BPS RI) Total penduduk Indonesia 236 728 379 Jiwa, dengan 3 penduduk memiliki jumlah (1) suku etnis Jawa berjumlah 95. 217.022 jiwa atau 40,22%; (2) suku etnis Sunda berjumlah 36.701. 670 jiwa atau 15,5%, dan (3) suku etnis Batak berjumlah 8.466. 969 jiwa atau 3,58%. Dengan data BPS 2010 ini dapat disimpulkan statistic kependudukan, secara mayoritas pendifinisian jumlah penduduk pada distribusi, kepadatan, dan mutu hidup bangsa Indonesia secara keseluruhan. Itulah uniknya Negara Indonesia Berbeda-beda tetapi tetap satu kesatuan.
Makna dan tafsir umum hermeneutika dan semiotika pada [3] Tiga Filsafat Mental Pak Presiden Joko Widodo adalah berlaku universal dan umum, sebagai cara [episteme] menjelaskan realitas manusia, alam semesta, dan tatanannya. Pada tradisi filsafat saya sebutkan misalnya Platon atau Plato menjelaskan tentang tiga cara memahami yakni memahami secara sensible, garis membagi, dan intelekible atau Matahari (Sun), Dua Garis Membagi (Divided Line), Gua (Cave) ; Georg Wilhelm Friedrich Hegel menjelaskan dengan 3 cara tesis, anti tesis, rekonsiliasi sintesis; Sigmund Freud membagi 3 bentuk kesadaran mental id, ego, superego, Friedrich Wilhelm Nietzsche membagi kategori; baik, jahat, dan melampaui baik dan jahat atau 3 Doktrin of Persuasion (Aristotle) : Ethos, Pathos, Logos.
Pada tradisi Batak ada istilah ["Dalihan Natolu"] ditentukan dengan adanya tiga kedudukan fungsional sebagai suatu konstruksi sosial yang terdiri dari tiga hal yang menjadi keutamaan manusia berbudaya; pada kebudayan Radja Jawa Mataram, 3 sumbu imajiner Merapi, Tugu Golang Galing {manunggaling pemimpin dengan rakyat], dan laut Selatan sebagai metafora pada 3 alam Wasono, alam Madyo, dan alam Purwo [asal usul]. Model ini dalam penelitian saya disebut ["Jumbuhing Kawulo Gusti"] adalah model membangun hubungan harmonis dengan Sang Gusti atau Tuhan, proses menuju Ingsun Sejati [manusia berbudi luhur berkeutamaan"]
Atau dalam tradisi Katolik ada 3 kali nabi Isa Almasih jatuh sebelum mati di Kayu salib, atau Allah Tritunggal Maha Kudus konsep Trinitas dalam imannya; atau di Candi Prambanan ada 3 simbol Trimurti, tiga dewa utama Hindu yaitu Brahma sebagai dewa pencipta, Wishnu sebagai dewa pemelihara, dan Siwa sebagai dewa pemusnah; atau dalam tradisi Mataram Kuna, disebutkan "Triloko (Jagat Telu) terbagi menjadi 3 yaitu: Guru Loko (ada di otak mental kesadaran), Indro Loko (sukma Kawekas, ada di hati) dan Jono Loko (nafsu jasmani); atau dalam bahasa Kuna disebut sebagai tirto pawitro mahening suci (air kehidupan yang bersih dan suci). Trimurti hingga bumi lapis tujuh semuanya sudah diakui oleh sedulur papat limo pancer, dan kedalam makin dalam ada di pusat hati (telenging ati), dan rumahku sendiri sudah ditempati, dikuasai, diatur dan dijaga oleh saudara sendiri sedulur papat limo pancer.
Tiga [3] Dokrin (mocopat, kolomudheng, poncosudo) bahwa (a) Segala bidang kenyataan digolongkan menjadi lima unsur asasi, empat yang dipandu dalam yang kelima (mocopat, kolomudheng, poncosudo). Macapat adalah tembang atau puisi tradisional Jawa. Protipe dunia bersudut empat dengan satu pusat (papat keblat, kelimo pancer), menurut urutan selatan, barat, utara, timur, dan pusat. Juga nama neptu 5 hari legi, paing, pon, wage, kliwon. (b) Antara manusia (buana alit/ Bhuana Alit atau mikrokosmos) dengan alam (Buana Agung atau besar atau jagat makrokosmos) ada harmoni progresif, tatanan abadi dipartisipasikan oleh manusia (homologi antropokosmis).
Maka 3 dokrin mental [Geist] pak Presiden ini menurut tafsir filsafat adalah berlaku umum, dan dapat digeneralisasi, dalam tatanan menjadi manusia baik, benar, dan indah; atau tujuan [telos] dalam dokrin tujuan hidup manusia berkeutamaan menjadi memayu hayuning bawono.
Makna dan tafsir umum hermeneutika dan semiotika Tiga Filsafat Mental {Gesit} Pak Presiden Joko Widodo bisa disejajarkan dengan hakekat pada sembah wujud pemahaman kedalaman hidup yang dihayati melampaui pengetahuan dan pemahaman lahiriah batiniah pada [telu-telune atunggal] pada tiga proses internalisasi batin manusia pada Sembah rogo, Sembah cipto, Sembah jiwo roso. Maka kata rasa paling penting menjaga keutuhan umat manusia. Kekuasan yang telu-telune atunggal (telu-telune atunggal) dipandu oleh pancaindra dan batin. Manusia utama adalah manusia yang sampai pada mengendalikan rasa atau Sembah Roso" sebagai usaha menuju Suksma Kawekas (Tuhan Sejati);