Bisakah Sidang di Mahkamah Konstitusi Menemukan Jenis Kebenaran Baru [6]
Kompas.com 22/05/2019, 06:57 WIB; dengan judul "Jimly: Gugatan ke MK Bukan Hanya soal Menang atau Kalah", Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie, mengatakan, gugatan sengketa hasil Pilpres 2019 bukan hanya menyangkut ketidakadilan siapa yang menang dan kalah dalam pemilu. Pengajuan gugatan ke MK juga upaya pembuktian hukum terhadap adanya dugaan kecurangan. ["Forum sidang MK ini penting sekali, bukan sekadar soal menang dan kalah].
Pada tulisan ke [6] ini saya membahas dan ingin membuat diskursus tentang pertanyaan Bisakah Sidang di Mahkamah Konstitusi Menemukan Jenis Kebenaran Baru. Rangkaian tulisan saya di Kompasiana [1,2,3,4,5] sebelumnya;
Maka ada tiga alat yang saya sampaikan adalah [1] pendekatan Grand Theory adalah Filsafat Sejarah [Philosophy of History]; dan [2] pendekatan interprestasi hermeneutika; [3] pendekatan seni memahami. Pendekatan Filsafat Sejarah [Philosophy of History] ada 2 tokoh yang saya pakai yakni: (a) Georg Wilhelm Friedrich Hegel [1770-1831], (b) Johann Gottfried von Herder (1744-1803). Hegel mencari Jenis Kebenaran Baru dengan menggunakan peristiwa yang sudah terjadi [past event] atau sejarah. Pada konteks ini Hegel dipakai untuk memahami rekonstruksi ulang pada hal yang sudah terjadi [past event] atau sejarah pada pemilu tanggal 17 April 2019 secara serentak di seluruh Indonesia; tanggal 21 Mei 2019 Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan hasil rekapitulasi nasional; bisa dihadirkan kembali pada awal tanggal 14 Juni 2019; dimana MK menggelar sidang perdana, untuk menyimpulkan peristiwa sejarah [past event] tanggal 28 Juni 2019 MK membacakan putusan akhir finalitas sengketa Pilpres. Didalam sidang adalah aktivitas uji validitas reliabilitas fakta data; dekonstruksi dan rekonstruksi ulang atau reka ulang past event pada proses sampai hasil final Situng KPU.
Ke [11] Hegel membuat gagasan pikiran manusia berjuang untuk menemukan cara memahami sejarah [past event]. Filsafat sejarah Hegel Filsafat merupakan teori sejarah filosofis yang paling berkembang yang mencoba menemukan makna atau arah dalam sejarah (1824a, 1824b, 1857).
Hegel menganggap sejarah sebagai proses yang dapat dipahami bergerak menuju kondisi tertentu - realisasi kebebasan manusia. "Pertanyaan yang dipermasalahkan oleh karena itu adalah akhir dari umat manusia, tujuan yang ditetapkan oleh roh [mental atau jiwa] di dunia" (1857: 63). Hegel menggabungkan historisisme yang lebih dalam ke dalam teori-teori filosofisnya daripada para pendahulunya atau penggantinya.
Hegel menganggap hubungan antara "objektif" sejarah dan perkembangan subyektif dari kesadaran individu ("roh") sebagai yang intim; ini adalah tesis sentral dalam Phenomenology of Spirit (1807). Hegel memandangnya sebagai tugas sentral bagi filsafat untuk memahami tempatnya dalam terbentangnya sejarah. "sejarah [past event] adalah proses di mana roh [mental atau jiwa] menemukan dirinya sendiri dan konsepnya sendiri" (1857).
Hegel mengkonstruksikan sejarah dunia ke dalam narasi tahapan kebebasan manusia, dari kebebasan publik dan kewarganegaraan Republik Romawi, hingga kebebasan individu Reformasi Protestan, hingga kebebasan sipil negara modern.
Hegel mencoba untuk menggabungkan peradaban India dan Cina ke dalam pemahamannya tentang sejarah [past event] dunia, meskipun Hegel menganggap peradaban itu statis dan karena itu pra-sejarah. Hegel membangun momen-momen spesifik sebagai peristiwa " sejarah [past event] dunia" yang sedang dalam proses mewujudkan tahap akhir, kepenuhan sejarah dan kebebasan manusia.
Sebagai contoh, penaklukan Napoleon terhadap sebagian besar Eropa digambarkan sebagai peristiwa sejarah dunia yang melakukan pekerjaan sejarah dengan menetapkan ketentuan-ketentuan negara birokrasi yang rasional. Hegel menemukan alasan dalam sejarah; tetapi itu adalah alasan laten, dan satu-satunya yang hanya bisa dipahami ketika kepenuhan karya sejarah selesai: "Ketika filsafat melukis abu-abunya pada abu-abu, maka bentuk kehidupan menjadi tua. ... Burung hantu Minerva melebarkan sayapnya hanya dengan jatuhnya senja "(Hegel 1821: 13) menjelaskan filsafat Hegel tentang sejarah atau peristiwa past event.
Patut diperhatikan filosofi sejarah Hegel bukanlah latihan penalaran filosofis spekulatif yang tak dapat dipertahankan yang terkadang dilukiskan oleh para filsuf analitik. Pendekatan filosofisnya tidak semata-mata didasarkan pada penalaran apriori yang mendasar, dan banyak interpretasinya tentang perkembangan sejarah yang konkret cukup berwawasan luas.