Lihat ke Halaman Asli

APOLLO_ apollo

TERVERIFIKASI

Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Filsafat Tentang Kematian Manusia [12]

Diperbarui: 7 Mei 2019   10:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Filsafat Tentang Kematian Manusia [12]

Jika pada tulisan [1,2,3,4,5,6] saya sudah membahas hasil riset tentang Filsafat  Kematian [Philosophy of Death], maka dalam telahan alat akademik yang saya pakai adalah 3 tokoh yakni  Filsafat Kematian: Martin Heidegger, Thomas Nagel, Philip Gould.  Pada  tulisan [1,2,3,4,5,6] saya sudah membahas 3 tokoh tesebut secara berturut-turut  pada tulisan di Kompasiana.

Maka pada tulisan ke [12] saya membahas Filsafat Tentang Kematian  gagsan Marcus Aurelius, Stoa, Epicurus. Platonn, dan seterusnya dalam Filsafat Yunani Kuna untuk dikaji lebih mendalam. Saya mengambil atau meminjam pemikiran pada Filsafat Kematian gagasan Filsafat Kematian Kematian [Philosophy of Death], gagasan pemikiran  Friedrich Wilhelm Nietzsche.

Friedrich Nietzsche (1844--1900) tentang kekembalian hal yang sama secara abadi atau pengulangan secara sama. Nietzsche mengambil pandangan yang jelas berbeda dari Platon tentang kehidupan.  Nietzsche berpendapat  kita harus hidup setiap hari seolah-olah semua yang terjadi dalam hidup akan kembali selamanya. Nietzsche mengambil pendekatan yang tidak populer dengan agama dan beberapa filsuf untuk menjelaskan maksudnya.

Bagi Nietzsche, rahasia untuk menjalani kehidupan yang terpenuhi adalah menerima dan merangkul kenyataan. Ini adalah tanda sejati dari roh bebas, atau roh yang tidak terhalang oleh apa pun. Banyak orang menderita secara fisik dan mental dan menjalani hidup hanya berusaha untuk bertahan hidup, dengan harapan   kehidupan yang lebih baik yang melampaui kehidupan saat ini. Ini adalah sikap yang diambil oleh beberapa agama seperti Kristen. Namun, Nietzsche menyebut sebagai penyangkalan atau penipuan diri ini.

Dalam menjalani hidup seolah-olah setiap hari  terulang kembali [repetitive, memesis], Nietzsche mendorong seseorang untuk menerima apa yang terjadi dan apa yang telah terjadi, dan pindah ke tingkat pembebasan yang lebih tinggi di mana orang dapat berkehendak untuk apa yang telah terjadi kembali.

Arti sebenarnya dari kehidupan seperti yang dijelaskan Nietzsche adalah "mengatakan ya untuk hidup". Nietzsche berpendapat  tidak mungkin memisahkan yang baik dari yang buruk dan  penderitaan adalah bagian dari kehidupan yang sangat penting untuk mencapai kebesaran. Roh yang benar-benar bebas adalah yang bersyukur atas segala yang telah terjadi, dan yang dapat menghendaki kehidupan untuk terulang kembali dengan semua suka, duka, dan kesedihannya, karena ini adalah kegembiraan hidup yang sejati.

Roh bebas menikmati kehidupan di bumi dan hidup setiap hari sepenuhnya. Diberi kesempatan, mereka dapat membuat segalanya terulang kembali seperti sebelumnya, karena hal itu akan tetap memberikan pelajaran yang sama yang membuat orang-orang hebat. Semangat bebas telah belajar untuk merangkul realitas dan tidak hanya menjalani kehidupan dengan harapan untuk kehidupan akhirat yang lebih baik. Ini, menurut Nietzsche, hidup setiap hari seolah-olah semua yang terjadi akan terulang kembali, dan itu adalah tanda sebenarnya dari orang yang bebas.

Filosofi  Nietzsche membuat orang lebih baik dan lebih berani. Dengan merangkul kenyataan, seseorang tidak lagi takut dengan apa yang mungkin terjadi.Sebaliknya, seseorang dapat menjalani kehidupan yang menyenangkan dan mengambil setiap sukacita, kesedihan dan contoh penderitaan sebagai kesempatan untuk mendapatkan kebijaksanaan. Alasan mengapa seseorang dapat berkehendak untuk perulangan kekal adalah karena kebijaksanaan tidak dapat dicapai tanpa pengalaman.

Gagasan tentang pengembalian kekal, atau perulangan kekal, telah ada dalam berbagai bentuk sejak zaman kuno. Sederhananya, itu adalah teori [the same return forever] kembalian berulang dalam siklus tak terbatas ketika energi dan materi berubah dari waktu ke waktu. Di Yunani kuno, kaum Stoa percaya alam semesta melewati tahap-tahap transformasi yang sama dengan yang ditemukan dalam "roda waktu" agama Hindu dan Budha. Gagasan siklus waktu seperti itu kemudian tidak lagi populer, terutama di Barat, dengan munculnya agama Kristen. Satu pengecualian penting ditemukan dalam karya Nietzsche, seorang pemikir Jerman abad ke-19 yang dikenal karena pendekatannya yang tidak konvensional terhadap filsafat. Salah satu ide Nietzsche yang paling terkenal adalah tentang pengulangan kekal, yang muncul di bagian terakhir dari bukunya "The Gay Science [GS]" atau Perulangan Secara Abadi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline