Lihat ke Halaman Asli

APOLLO_ apollo

TERVERIFIKASI

Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Pak Jokowi Perlu "World View Multiparadigma" Pemindahan Ibu Kota NKRI [2]

Diperbarui: 1 Mei 2019   22:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Pak Jokowi Perlu World View Mulltiparadigma  Pemindahan Ibu Kota NKRI [2]

Karena jika mengadaikan   alasan [1] Alasan pemerintah pindahkan ibu kota negara karena Jakarta kerap di landa banjir, macet hingga kualitas air sungai yang tercemar. [2] alasan daya dukungan wilayah di Jakarta atau Pulau Jawa segi, kepadatan penduduk dan pemerataan ekonomi, [3] pemilihan wilayah baru ibu kota NKRI tidak mengandung risiko bencana. 

Konsep ini secara episteme artinya justru hanya memindahkan persoalan, dan bukan menyelesaikan persoalan. Atau memindahkan persoalan dari  Jakarta, dan masalah kependudukan ke wilayah lain. Artinya  alasan kebijakan itu benar, tetapi saya kira tidak cukup. Mengapa tidak cukup; karena problem utama bangsa ini adalah soal mental [geist] manusia atau visi masa depan mental manusia berubah semacam dibarengi dengan revolusi mental. 

Maka pemindahan itu adalah hanya pergeseran masalah, dan bukan mengatasi masalah. Atau menggeser perosalan dari wilayah A ke wilayah B, dan bukan menghilangkan masalah apapun secara signifikan dan memadai.   

Dengan kata lain alasan rasional menurut saya adalah tidak cukup dalam menentukan dimana, kapan, dan alasan perpindahan ibu kota baru NKRI  ke wilayah baru. Atau jangan-jangan secara logikapun alasan rasionalpun sebenarnya ternyata belum memadai. Misalnya apakah  Ke [1] Para punggawa Negara sudah atau belum menunjukkan ke public bagaimana Location Quotient dan Shift Share Analysis atau apalagi  pendasaran sift share atau National share atau teori balon pecah untuk mengetahui pergeseran struktur perekonomian suatu daerah yang dipengaruhi oleh pergeseran perekonomian nasional juga belum ada kajian bisa berhasil di Indonesia. 

Para punggawa Negara sudah atau belum memahami ke [2]  episteme Talcott Parsons (1902-1979), analisis social ibu kota baru NKRI  baik pendekatan structural-functional, dengan Paradigma AGIL, atau (adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi, dan latency). Parson menggunakan dua dimensi tindakan social yakni: (1) instumenal, dan (2) ekspresif.   

Proses pemindahahan memerlukan kajian pada  Adaptation (bahwa system yang baik harus mampu menata kelola kondisi fisik material, dan relasinya dengan system lingkungan internal atau eksternal social budaya dan potensi konflik);  Goal Attainment (bahwa system nilai perpindahan ibu kota baru NKRI  ke wilayah baru harus  mampu  menjawab kebutuhan tujuan utama). Kemampuan melakukan  Integration (bahwa system perpindahan ibu kota baru NKRI  ke wilayah baru harus memiliki kemampuan koordinasi masyarakat, atau kelompok dalam keutuhan).  

Latency (bahwa system perpindahan ibu kota baru NKRI  ke wilayah baru mampu merawat memotivasi individu agar memiliki kesesuaian dengan standar aturan moral menurut harapan maksim kehendak umum).

Dengan meminjam "Georg Wilhelm Friedrich Hegel [ 1770-1831] pernah mengatakan apa yang masuk akal itu nyata,". Maka wajar bahwa  "Setiap pemikiran  dibahas perpindahan Ibu Kota NKRI tampaknya masuk akal, namun tidak sepenuhnya nyata. Mungkin ada yang salah dengan pemikiran Hegel, atau keduanya".

Bagimana maksudnya "Setiap pemikiran  dibahas perpindahan Ibu Kota NKRI tampaknya masuk akal, namun tidak sepenuhnya nyata atau mungkin pemindahan dengan alasan-alasan rasional menjadi tidak cukup, atau kalaupun iya, dia hanya berlaku sebagai penunjang dalam pengambilan keputusan. Apa alasannya, dan bagimana penjelasannya.

Hasil penelitian saya pada sejarah 12  kota-kota  penting yang ada di Indonesia proses nya semuanya tidak ilmiah dan tidak mengandalkan logika dan berhasil. Pertama-tama saya sebutkan secara umum adalah tokoh masyarakat kepala suku, damang, pembekal,  udu api, sultan, raja, panglima perang,  atau 100 nama lainnya bahwa dalam pada proses pendiri kota kampung desa dan dukuh di Indonesia sekali lagi tidak menggunakan metode ilmiah [aspek lahiriah] seperti alasan-alasan punggawa Negara pada hari ini yang membuat saya ikut prihatin.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline