Pada artikel tafsir Mencari {"Ada"} : Etnografi Petilasan Ibu Soekirah oleh Prof. Dr. Apollo ...., saya sudah menguarikan banyak hal tentang " Mencari Ada" dalam rehabilitasi makna petilasan ibu dan keturunan manusia sakti dan hebat bapak Presiden Indonesia ke 2.
Pada tulisan kali ini saya membahas meminjam pemikiran filsafat Martin Heidegger (1889-1976) menyatakan "kebenaran itu keras kepala, dan suka menyembunyikan diri, dan kebenaran yang dipahami hanya sebatas kebenaran tidak tersembunyi". Heidegger menyebut alam semesta memiliki ketersembunyian ("Aletheia") pada kebenaran. Kata dan pemikiran yang saya pinjam adalah "menghuni dulu baru membangun". Tentu saja analisis yang dipakai adalah fenomenologi ontologis pencarian filsafat nusantara khususnya di Jogja, dan Jawa Tengah. Adapun makna singkat hasil riset saya secara etnografi adalah:
Pertama dalam dokrin "menghuni dulu baru membangun", dapat dimaknai "memiliki "yakin" atau "keyakinan". Secara ontologis pada dimensi Manik mayo, semar, Samar, menikahi Dewi Kanestren maka lahirlah Rama. Selajutnya Rama berpasangan dengan Dewi Ratih dalam teks Kamajaya dan Dewi Ratih. Maka secara ontologis "keyakinan adalah lambang kasih sayang; dan cipto bukan fantisme.
Kedua, suatu hari ketika Dewi Uma adalah tokoh wayang yang menjadi permaisuri karena selingkuh Batara Guru, maka lahirlah sang Batara Kala, atau jadilah Durga. Maka secara ontologis hal ini cocok dengan pemikiran Martin Heidegger disebut "time" dan "being" sebagai akibat "Menghuni Dulu Baru Membangun". Menghuni bisa berarti berselingkuh (tidak pada tempat menghuni yang tepat sesuai seni atau filsafat mimesis).
Ketiga, ketika Pandu memiliki dua istri Dewi Kunti, dan Madri. Maka sebelum Kunti diperistrikan oleh Pandu, maka Kunti telah menikah dengan Karna melahirkan "Surya Atma" atau matahari atau elemen atau cahaya. Maka "Surya Atma" menghasilkan sembah cipto atau cipta dan waktu. Matarhari adalah simbol waktu atau saya sebut ""Menghuni" atau dalam istilah konteks ini "Menghuni Dulu Baru Membangun".
Kempat, "Surya Atma" lahir dari Kunti atas Karna batara surya. Maka anak pertama Surya Atma" metafora disebut iman kebenaran sama dengan Dokrin Platon, atau percaya. Selajutnya perkawinan dengan Pandu, Kunti menghasilkan 5 anak atau disebut Pandawa lima. Para Pandawa terdiri dari lima orang: Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa, kemudian ditransformasikan menjadi (a) cara manusia menghuni pada lima waktu pasaran atau sejarah Neptu Jawa: Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon. (b) menjadi sadulur papat lima pancer atau empat penjuru mata angin atau biasa disebut dengan sedulur papat lima pancer. Kemudian menjadi patokan pusat "menghuni" sesuai arah mata angin, utara, selatan, barat, timur. Atau (1) Utara=lor, bahasa Jawa halusnya ler ke utara=ngalor, halusnya ngaler; (2) Selatan = kidul, bahasa Jawa halusnya kidul ke selatan= ngidul, halusnya ngidul (tetap); (3) Barat=kulon, bahasa Jawa halusnya kilen ke barat = ngulon, halusnya ngilen; (4) Timur=wetan/etan, bahasa Jawa halusnya wetan ke timur = ngetan. Cara kebatinan maka itulah disebut "Menghuni dulu baru membangun". Bahkan kemudian menjadi dan dijadikan 5 sila dalam Pancasila, sebagai perrekat NKRI. Menghuni Pancasila, dulu baru bisa membangun Tanah Air NKRI harga mati.
Kelima, Pada sifat dan karakter pandawa "menghuni" apa yang disebut "satria bolo-tengen kanan" ; sedangkan 100 kurawa "menghuni" bolo tengen kiri atau bolo kiwo. Maka disinilah terjadi dialektika dua hal "menghuni" yang berbeda, antara kebaikan dan kejahatan atau "bolo-tengen kanan vs bolo tengen kiri atau bolo kiwo. Heidegger menyebutknya menghasilkan "Ada" sebagai penghuni jiwa manusia. Maka semua lakon wayang, kehidupan manusia selalu berperang dalam dua "hunian" batin berbeda bolo kanan dan bolo kiwo. Maka dengan dua kutub ini lah adanya apa yang disebut "membanguan". Kedua sistem "menghuni" ini menimbulkan dialektia membangun beradaban dunia, mencari hakekat sifat 1001 karakter.
Keenam, Salah satu dari pandawa 5 adalah Herjuna atau Arjuna, metafora air dari surga. Arjuna adalah penghuni dua dunia antara: surga dunia. Dalam kisahnya Arjuna banyak istri dan perempuan selir. Maka inilah yang kemudian menghasilkan macam macam dan banyak cabang ilmu atau displin episteme ilmu menjadi dan berusaha menjadi bijaksana (king philosopher). Maka dari keturunan Arjuna yang bisa menjadi "pemimpin" di Tanah Jawa atau keturunan inilah yang menguasai ilmu "menghuni" dan "membangun" peradaban Indonesia Kuna, dan masih diyakni sampai hari ini.
Tulisan ini adalah hasil riset etnografi ketika suatu hari saya berjalan kaki dari Jogja menuju Magelang atau kota dengan 1001 candi, dalam upaya mencari Satrio Piningit. Kaki saya terhenti disebuah perempatan jalan depan Klenteng Hok An Kiong terletak di Jl. Pemuda No.100 Muntilan, Kab. Magelang kemudian dari perhentian tersebut saya berjalan 3,8 km menuju sebuah candi abad 9 M bernama candi Ngawen. Dan persis hujan deras, dan petir menyambar di sore hari saya berdiri di candi nomor 5 saya memperoleh intuisi batin, kemudian mengambil kertas kecil di gapura menuliskan hasil pembatinan tersebut.
Sumber: Prof Apollo Daito (2016), Hasil Penelitian Mencari Satrio Piningit, dan tulisan ini adalah bahan kuliah S3 untuk matakuliah filsafat ilmu, tema filsafat Jawa Kuna, dan Nusantara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H