Weber: Riset Agama [6]
Buku dengan judul The Protestant Ethic and Spirit of Capitalism adalah karya besar Sosiolog dan ekonom Jerman, Max Weber (1864-1920) menerbitkan karyanya yang paling terkenal. Pada tulisan ke (6) ini saya membahas pada The Protestant Ethic and Spirit of Capitalism, pada 1904-1905, pada Bab 4 - Landasan Agama Pertapaan Duniawi (Bagian 1, Calvinisme) atau ["The Religious Foundations of Worldly Asceticism: Calvinism"].
Secara historis, empat bentuk utama Protestanisme pertapa adalah, Calvinisme, Pietisme, Methodisme, dan sekte-sekte Baptis. Tidak satu pun gereja-gereja ini yang benar-benar independen satu sama lain, atau bahkan pada gereja non-pertapa. Bahkan perbedaan dogmatis terkuat mereka digabungkan dalam berbagai cara, dan perilaku moral serupa dapat ditemukan di keempatnya. Maka persyaratan etika serupa dapat sesuai dengan fondasi dogmatis yang sangat berbeda. Dalam memeriksa agama-agama ini, Weber menjelaskan tertarik pada "pengaruh sanksi psikologis berasal pada keyakinan agama dan praktik agama, atau kemudian memberi arahan untuk perilaku praktis dan menahan sikap individu".
Orang-orang prihatin dengan dogma-dogma abstrak sampai pada tingkat yang hanya bisa dipahami ketika kita melihat bagaimana hubungan dogma-dogma ini dengan kepentingan keagamaan praktis.
Agama pertama dijelaskan Weber adalah Calvinisme. Dogma Calvinisme yang paling khas adalah doktrin predestinasi. Calvinis percaya Tuhan menentukan siapa manusia yang diselamatkan dan yang terkutuk. Calvinis datang dengan ide ini pada kebutuhan logis dan pendasaran argumentasi semata-mata. Untuk mempertanyakan nasib seseorang mirip dengan hewan yang mengeluh itu tidak terlahir sebagai manusia. Manusia tidak memiliki kekuatan untuk mengubah keputusan Tuhan, dan hanya tahu bagian pada umat manusia telah diselamatkan, dan sebagian terkutuk. Dalam pandangan Kalvinis, Tuhan menjadi "makhluk transendental, di luar jangkauan pemahaman manusia, dengan keputusannya sangat tidak terpahami telah memutuskan nasib setiap individu dan mengatur detail terkecil kosmos pada keabadian."
Weber berpendapat Calvinisme pastilah memiliki dampak psikologis yang mendalam, "perasaan kesepian batin belum pernah terjadi sebelumnya pada seorang individu." Kondisi apa yang paling penting dalam hidupnya, keselamatan kekal, setiap orang harus mengikuti jalannya sendiri, untuk memenuhi takdir sudah ditentukan baginya. Tidak ada yang bisa membantunya, dan tidak ada keselamatan melalui Gereja dan sakramen-sakramen. Ini adalah kesimpulan logis pada penghapusan kekuatan iblis dedemit sihir secara bertahap di dunia. Tidak ada cara sama sekali untuk mencapai anugerah Allah jika Tuhan memutuskan untuk menolaknya.
Di satu sisi, kisah ini menunjukkan mengapa kaum Calvinis menolak semua elemen budaya dan agama yang sensual dan emosional. Unsur-unsur seperti itu bukan sarana untuk keselamatan dan mereka mempromosikan mitos. Di sisi lain, melihat asal-usul individualisme yang kecewa dan pesimis. Interaksi Calvinis dengan Tuhan dilakukan dalam isolasi spiritual, meskipun memang milik gereja. Ada organisasi sosial karena bekerja untuk kegunaan sosial impersonal diyakini dibutuhkan oleh Tuhan.
Namun, kisah Calvinisme ini memunculkan pertanyaan penting. Bagaimana mungkin doktrin predestinasi telah berkembang ketika nasib seseorang adalah bagian eksistensi paling penting dan paling pasti. Setiap orang percaya pasti bertanya-tanya apakah salah satu dari orang pilihan; atau masuk neraka; dua logika ini pasti mendominasi pikiran mereka. Calvin yakin keselamatannya sendiri, dan kekhawatiran semacam itu hanyalah dengan pengetahuan telah dipilih Allah, dan percaya kepada Kristus.
Calvin pada prinsipnya menolak anggapan dapat belajar dari perilaku orang lain apakah mereka diselamatkan atau terkutuk; untuk memaksa rahasia-rahasia Allah. Namun, pendekatan ini tidak mungkin dilakukan oleh pengikut Calvin. Secara psikologis diperlukan beberapa sarana untuk mengenali orang-orang dalam keadaan anugerah. Pertama, dianggap sebagai kewajiban mutlak untuk menganggap dirinya yang diselamatkan, dan melihat keraguan sebagai godaan kejahatan. Kedua, aktivitas duniawi didorong sebagai cara terbaik untuk mendapatkan kepercayaan diri itu.
Mengapa kegiatan duniawi dapat mengambil tingkat kepentingan ini; Calvinisme menolak unsur mistik Lutheranisme, di mana manusia adalah bejana yang harus diisi oleh Tuhan. Sebaliknya, Calvinis percaya Tuhan bekerja melaluinya. Berada dalam keadaan anugerah berarti mereka adalah alat kehendak ilahi. Iman harus ditunjukkan dalam hasil yang obyektif. Mereka mencari aktivitas apa pun yang meningkatkan kemuliaan Tuhan. Perilaku semacam itu dapat didasarkan langsung dalam Alkitab, atau secara tidak langsung melalui tatanan dunia Allah yang bertujuan. Perbuatan baik bukan sarana untuk keselamatan, tetapi itu adalah tanda mereka telah dipilih.
Weber mengamati Calvinisme mengharapkan kontrol diri sistematis, dan tidak memberikan kesempatan untuk memaafkan kelemahan. "Tuhan Calvinisme menuntut orang-orang percayanya bukan satu-satunya perbuatan baik, tetapi hidup pada perbuatan baik digabungkan menjadi satu sistem yang terpadu." Ini adalah pendekatan rasional dan sistematis terhadap kehidupan.