Aforisme adalah tulisan pendek dalam kalimat-kalimat yang mudah dibaca secara harafiah, namun sangat sulit memahami arti kalimat kalimat tersebut. Gaya filsafat dengan Aforisme ini diperkenalkan oleh Wilhelm Nietzsche (1884-1900).
Gaya filsafat dengan ["Aforisme"], semacam memberikan tanda kurung atau tanpa petik pada semua pernyataan, tidak ada sistem dan struktur yang jelas dalam narasi tulisan, bahkan antara satu pernyataan dengan pernyataan lainnya dapat saling bertentangan. Artinya Gaya filsafat dengan Aforisme wujud penolakan pada sistem yang sudah mapan dan dibangun seperti pada filsuf pada umumnya.
Menurut Nietzsche gaya berfilsafat yang mengikuti premis-premis major atau premis minor menunjukkan pada ketidakdewasan dalam mengolah metode berpikir (destruksi laten), bahkan menunjukkan kemerosotan moral. Mengapa, karena menurut Nietzsche kebenaran sulit atau tidak mungkin ditemukan dalam sistem tersebut atau ide baru yang melampaui tidak mungkin dapat ditemukan. Tetapi Nietzsche jangan disalah pahami (anti sistem) justru dengan cara ini menurutnya akan menghasilkan keterbaharuan, penemuan baru, dan ide-ide yang memungkinkan hasil merombak cara pandangan perspektif dunia.
Premis, atau dalil memang diperlukan sebagai pisau membedah mengoyak asumsi-asumsi tersembunyi sebuah gagasan termasuk evaluasi pada diri sendiri. Tidak mudah menerima begitu saja, selalu mencurigai dan mempertanyakan sampai yang paling dalam melampaui permukaan. Maka gaya filsafat atau berpikir Aforisme mengajarkan dan pengajar kecurigaan.
Gaya filsafat atau berpikir Aforisme mengajarkan dan pengajar kecurigaan, dinyatakan pada peradaban kebudayaan Nietzsche menyebutkan zaman Jenius Yunani Kuna, pada pemikiran Thales, Anaximandros, Anaximenes, Anaxagoras, Parmenides, Empedokles, Herakleitos dan Demokritos. Mereka inilah manusia pencari sejati, tidak terperangkap dalam kepercayaan transcendental, berani berpikir melampaui, dan tidak mengikuti sistem atau prosedur berpikir dengan paradigm tertentu, meneliti dunia apa adanya, dan tanpa melihat menoleh tradisi apapun.
Saya kutib misalnya Parmenides menyatakan "Hanya yang ada, itu ada"; kemudian Thales bahwa air adalah prinsip awal yang menghidupkan dan memunculkan segala sesuatu. Anaximandros tetang prinsip tak terbatas atau disebut ["apeiron"] bersifat segala sesuatu tetap mantap, abadi. ["apeiron" berarti "a" tidak, dan "peiron" berati batas]. Anaximenes menyatakan segala sesuatu adalah udara. Udara bergerak menadat menjadi benda-benda air, tanah, batu, besi dan seterusnya kembali menjadi udara meliputi semuanya. Dan akhirnya Empedokles menggabungkan menjadi 4 anasir menjadi air, tanah, api, dan udara. Di mana empat anasir itu bergerak pada dua sumbu yakni; ada gerak yang menyatukan atau disebut gerak cinta (philotes), dan gerak benci yang memisahkan (neikos).
Anaxagoras, awal segala sesuatu adalah nous berarti jiwa atau rasio, atau roh sebagai awal segala sesuatu, pada empat anasir angin, api, tanah, air. Dan Anaxagoras memasukkan dan memisahkan dirinya dengan anasir tersebut. Herakleitos dengan penemuan "panta rhei" segala sesuatu berubah dan mengalir, manusia tidak mungkin masuk dalam dua kali pada air sungai yang sama. Semua berubah dan menjadi. Dan perubahan itu terjadi karena adanya rasio dunia, berbuah berbeda menjadi satu , dan satu menjadi segalanya.
Pada pandangan Nietzsche tentang mengatasi sejarah, bahwa membedakan antara "bersikap historis", dan "sikap tidak historis". Untuk hidup manusia membutuhkan memorinya, maka sikap historis perlu. Namun kadang sejarah atau memori justru menghalangi kebahagian atau menciptakan trahuma. Maka diperlukan sekaligus yakni kemampuan bersikap historis (memori mengingatkan), dan sekaligus memori untuk melupakan (sikap tidak historis). Maka Nietzsche menyatakan diperlukan kemampuan menyatakan wujud apapun pada kehidupan ini di buku "The Will to Power, yang terkenalnya :["Ja Sagen" menyatakan iya pada kehidupan ini"] tanpa melakukan dikothomi atau dikenal dalam Nietzsche sebagai "affirmation of life" (Jerman di sebut: Bejahung). Kata :["Ja Sagen"] berarti menerima semua apa adanya pada realitas. Konsep ini mirip dengan Demokritos bahwa segala sesuatu adalah ["Atom"; berarti "a" artinya tidak, dan "tomos" artinya terbagi"]. Bagi saya ungkapan Nietzsche pada kata "Amor Fati", kita tidak hanya harus menanggung apapun yang tidak dapat diubah, kita harus mencintainya. Tidak menyerah pada nasib, tetapi menanggungnya, adalah suatu sikap hidup yang luhur. "Amor Fati", semoga inilah cintaku! Kata Nietzsche.
Pada bidang lain gaya filsafat aforisme, dipakai untuk pandangan pemikiran Nietzsche tentang genealogi moral, dan kedok dalam moral, kebutuhan-kebutuhan, harapan-harapan yang terungkap, atau didalam moral ada kedok rasionalitas. Justru didalam terang benderang moral paling baik terdapat kenyataan paling gelap. Semacam heroglif atau tanda-tanda menyembunyikan (topeng) sebuah rahasia kegelapan.
Dengan gaya filsafat ["Aforisme"] cara episteme berpikir Nietzschen adalah bentuk upaya pada pernyataan Demokritos .... "sesungguhnya, kita sama sekali tidak tahu sebab kebenaran itu terletak didasar jurang yang paling dalam".
Gaya filsafat aforisme cara episteme berpikir Nietzsche menjadikan seorang seniman tidak pernah berhenti mencari, apa yang diperolehnya direpleksikan dan diungkapkan lagi, dan lagi, sampai mencuat hal-hal baru diluar hal yang tak terduga. Hal yang baru itu bukan tiba-tiba muncul tetapi diperoleh dari kreativitas mencari yang tidak mau menyerah pada forma apapun yang sudah ada, atau yang sudah diraihnya. Gaya filsafat Nietzsche mendobrak segala kemapanan, kepuasan diri, dan forma apapun.