Lihat ke Halaman Asli

APOLLO_ apollo

TERVERIFIKASI

Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Makna Museum Ullen Sentalu

Diperbarui: 22 April 2018   20:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(KOMPAS.COM/FITRI PRAWITASARI)

Makna Museum: Ullen Sentalu

Ullen Sentalu kepanjangan dari: "ULating bLENcong SEjatiNe TAtaraning LUmaku" berarti "Nyala lampu blencong merupakan petunjuk manusia dalam melangkah dan meniti kehidupan". Filosofi tersebut diambil dari sebuah lampu minyak yang biasa dipergunakan saat pertunjukan Wayang Kulit. Museum Ullen Sentalu di Jalan Boyong, Kaliurang, diresmikan 4 November 1997 Menteri Joop Ave. Posisi berada dekat Patung  Udang  Proliman  Kaliurang  belok kiri.  Museum Ullen Sentalu Jalan Boyong Kilimeter 25, Kaliurang Barat, Hargobinangun, Kabupaten Sleman, di  Yogyakarta.

Banyak hal yang bisa diperoleh bila mengunjungi Museum Ullen Sentalu. Saya mencoba memahami dengan  beberapa pendekatan: Dengan meminjam pemikiran Martin Heidegger, bahwa karya atau perwujudan seni (memesis) adalah suatu hasil "persetubuhan" atau komposisi unsur-unsur bumi-langit (material-ruang), dan yang abadi (inmortal) dan fana (mortalitas, manusia). "Persetubuhan" atau persenyawaan ini terjalin sebagai suatu sistem yang memberi tempat pada manusia untuk mengungkapkan suatu keduniaan. Karya diciptakan, dibuat, diperhalus, diletakkan, dan dipelihara oleh manusia. 

Maka dapat dikatakan {"Museum Ullen Sentalu"} sebagai wujud "Seni" adalah upaya  manusia  mencari kebenaran  melalui sebuah prosesi pemaknaan kelanjutan pada kejayaan Mataram Kuna. Seluruh alat, benda, dan karya" {"Museum Ullen Sentalu"} adalah Thing, and Work. "Kebenaran, dan Seni" (Truth and Art), memperlihatkan bahwa {"Museum Ullen Sentalu"} bukanlah sebatas pada analisis estetika semata-mata melainkan upaya melegetimasi kekuasan, konflik kekuasaan, dan merawatnya dalam keberlanjutan sejarah.

Mulai masuk {"Museum Ullen Sentalu"} memperlihatkan sesuatu atau "the thing" di mana material dari bumi dibuka, diproses, kemudian dikerjakan untuk melengkapi dunia melalui sistem peralatan dan pemerkaya dunia, menjadi kebudayaan Jawi Kuna.  "The thing" sebagai sesuatu yang tidak semata-mata terjadi begitu saja, melainkan merupakan fenomena yang memperhatikan apakah berada secara asli atau palsu atau membedakan kelas-kelas manusia Jawi, dalam struktur menguasai, dan dikuasai, atau memimpin dan dipimpin sebagai sistem dialektika masyarakat.

"Museum Ullen Sentalu" atau wujud karya  seni.  Seni memiliki kapasitas menyampaikan sesuatu secara ekspresif. Keekspresifannya tidak lepas dari suatu techne menggugah perasaan dan perhatian untuk diingat, diamati, dan direpleksikan. Maka "Museum Ullen Sentalu" memungkinkan kita membuka pengertian sumber seni adalah upaya menghadirkan, segala sesuatu sebagai kejadian kebenaran; menandakan suatu gaya mengetahui sistem rasio instrumental pada kekuasan Kraton Jogja, dan Solo.  Maka isi  "Museum Ullen Sentalu" adalah wujud, metode, dan mencari kebenaran.

Tafsir "Museum Ullen Sentalu" dapat dipahami pada "Art and Space" (seni dan ruang,). Dunia tidak dibuka oleh pengertian di luar tangan manusia yang melalukan, kemudian diproduksi, dan direproduksi menjadi wujud nyata dan fakta sejarah. 

Maha karya "Museum Ullen Sentalu" sebagai upaya menggali imajinasi sejarah, kemudian di ekspresikan pada ketrampilan seni, dan keakhlian tangan yang membuat sistem produksi barang-barang dan sehingga cocok misalnya pada karya batik, pakaian, percintaan, kebencian, dendam, keputusaan, dan kebingungan seperti bangunan dan struktur {"Museum Ullen Sentalu"}  berbentuk labrin Yunani Kuna.

Bagimana pada {"Museum Ullen Sentalu"}  narasi perjalanan konflik pada "Trah" atau garis keturunan Majapahit Kuna yang masih eksis hingga sekarang, yakni kerajaan Mataram Panembahan Senopati di Kotagede Yogyakarta, Kerajaan Kasunanan dan Mangkunegaran di  Solo, generasi Mangkubumen yakni Kasultanan dan Pakualaman di Yogyakarta. Semuanya adalah generasi penerus Majapahit terutama raja terakhir Prabu Brawijaya V. Bagimana perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755, melahirkan Yogyakarta dan Surakarta. 

Perjanjian Giyanti memecah Mataram, kerajaan terbesar di Jawa masa itu menjadi dua bagian yakni wilayah sebelah timur yang menjadi milik Paku Buwono dan wilayah sebelah barat yang menjadi bagian Pangeran Mangkubumi. Maka Jika Yogyakarta memiliki dua keraton yakni Keraton utama Kesultanan, dan Pakualaman sebagai keraton kedua, Surakarta pun demikian ada Keraton Kasunanan, dan Keraton Mangkunegaran. 

Maka pada "Museum Ullen Sentalu" dipaparkan dalam bentuk mengisyaratkan kecemasan ("angst") bahwa ketika kekuasan dimiliki, diwariskan, adalah tidak mudah menjalaninnya. Sebagaimana metafora "Labrin" dalam mitologi  Theseus melawan Minotaur, kekusaan bisa diwariskan atau diperoleh, tetapi sekali anda masuk pada kekuasaan itu, maka anda tidak bisa keluar atau terjebak. Dampaknya luar bisa sampai hari ini dimedia masa konflik itu masih terus terjadi. Pada masa lalu, maka kematian kepailitan, konsolidasi, suksesi memakan pengorbanan yang tidak mungkin dapat dikembalikan lagi, dan wajib dibayar mahal. Maka jika penguasa Mataram Kuna, sampai hari ini memperlihatkan "labirin" yang rumit.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline