Lihat ke Halaman Asli

Bung Baladil

Pejalan Kaki

“Kartini” Kecil yang Melawan Arus

Diperbarui: 21 April 2016   17:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="FOTO: wuddan.mywapblog.com"][/caption]SELAMAT HARI KARTINI 2016

“Kartini” kecil itu lahir di sebuah desa di pinggiran Kota Baubau, Sulawesi Tenggara . Saat itu, desanya masih jauh dari perkembangan, sebagai warga desa yang masih menjunjung tinggi adat dan istiadat dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, tentunya ia harus patuh.

Namun, kepatuhannya bukan berarti harus mengubur impiannya melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi.
Waktu itu, tamat Sekolah Dasar (SD) sudah paling tinggi di desanya, meski begitu, teman sebayanya masih banyak yang tidak mampu menyelesaikan pendidikan hingga tamat SD. Berbeda dengan “Kartini” kecil itu, ia mampu menyelesaikan sekolahnya hingga usai.

Jika ingin melanjutkan pendidikan jenjang berikutnya, maka harus berani melawan arus, karena sekolah selanjutnya ada di luar daerah.

“Kartini” kecil itu kini tinggal menunggu kelulusan, sebentar lagi akan tamat SD, dengan begitu ia sudah menjadi kebanggaan keluarga. Mengapa tidak, gadis cantik dengan pendidikan yang tinggi saat itu, lelaki siapa yang tidak mau. Dan sudah pasti, orang tuanya, sebentar lagi akan mengumpulkan keluarga untuk menentukan hari baik, guna digelarnya pesta pingitan. Karena dalam tatanan adat istiadat yang berlaku di desanya, seorang wanita yang sudah masuk usia dewasa, maka wajib hukumnya untuk dipingit dan dipestakan. Memang saat itu, sebagian besar, “Kartini” kecil yang tamat SD sudah dewasa.

Selang beberapa lama pingitan selesai, sudah pasti hal yang dinanti keluarga adalah akan datang seorang pria yang menyuntingnya untuk menikah. Bahkan terkadang, sebelum pesta pingitan dimulai, sudah ada lelaki yang datang meminangnya. Dan itu menjadi kebanggaan tersendiri bagi keluarga dan masyarakat.

Jika tidak begitu, maka akan menjadi hal yang paling memalukan, bahkan menjadi buah bibir di tengah masyarakat karena dianggap belum “laku”. Sungguh menjadi tantangan tersendiri bagi “Kartini” kecil itu untuk melawan semuanya.

Ia sadar betul, didesanya saat itu, seorang wanita dilarang keluar daerah, keluyuran diluar rumah, atau duduk di ruang depan saat tamu laki – laki atau siapapun sedang bertandang dirumah, sangat tidak dibenarkan dan sudah pasti akan mendapat cemohan, baik dalam keluarga maupun tetangga sekitar juga masyarakat luas.

Bahkan yang lebih menakutkan adalah kedapatan berduaan dengan lelaki tanpa muhrim, sudah pasti akan dinikahkan.

Kini ia akan melawan, melawan bukan berarti ia menolak tatanan aturan yang berlaku, atau melepaskan diri dari aturan desanya itu. Tapi, ia melawan, untuk memperbaiki cara berpikir masyarakat, juga memberikan ruang khususnya kepada perempuan dalam mengenyam pendidikan.

Ternyata bukan hanya menjadi impian, perlawan itu ia mulai kibarkan, ia menolak kebiasaan yang ada dan mengutarakan apa yang ada dalam hatinya. Ia menolak untuk dinikahkan dalam usia muda karena ingin melanjutkan pendidikan, ia menolak anggapan bahwa wanita itu tugasnya hanya di dapur, ia juga menolak kalau wanita yang keluar daerah untuk mengenyam pendidikan itu adalah wanita tidak benar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline