Pendahuluan
Wabah Corona virus disase-19 (Covid – 19) yang terjadi saat ini cukup mengejutkan masyarakat dunia. Seluruh aspek dalam kehidupanh masyarakat mengalami dampak yang sangat signifikan, termasuk Indonesia. Tedros Adhanom Ghebreyesus yang merupakan Direktu Jendral Organisasi kesehatan dunia (WHO) pada tanggal 11 Maret 2021 resmi mengumumkan virus corona sebagai pandemi global.[1] WHO mendefinisikan pandemi sebagai penyebaran penyakit baru ke seluruh dunia dan tercatat ada beberapa penyakit pandemi lain yang mematikan sepanjang sejarah. Pandemi ini mempengaruhi banyak sektor, salah satunya adalah pendidikan.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI mengeluarkan surat edaran terkait pelaksanaan kebijakan pendidikan dalam masa darurat Covid-19, berkenan dengan penyebaran virus yang semakin meningkat. Salah satu yang disampaikan dalam SE (Surat Edaran) Mendikbud tersebut mengatakan bahwa proses pembelajaran dilaksanakan dengan ketentuan tertentu. Ketentuan yang dimaksud dalam SE tersebut diantaranya:[2] belajar di rumah melalui pembelajaran daring atau jarak jauh dikaksanakan untuk memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi siswa, belajar dari rumah dapat difokuskan pada pendidikan kecakapan hidup antara lain mengenai pandemi Covid-19; aktivitas dan tugas pembelajaran Belajar dari rumah dapat bervariasi antarsiswa dengan mempertimbangkan kesenjangan akses/fasilitas belajar di rumah; bukti atau produk aktivitas Belajar dari Rumah diberi umpan balik yang bersifat kaulitatif dan berguna dai guru tanpa diharuskan memberi skor/nilai kuantitatif.
Berkaca pada SE (Surat Edaran) tersebut kegiatan pembelajaran dan termasuk administrasi dalam hal pendidikan wajib dilakukan secara online demi menekan angka peningkatan kasus Covid-19. Kondisi lingkungan yang tidak mendukung untuk memberlakukan pembelajaran tatap muka (PTM) atau luring bukan berarti pendidikan untuk masyarakat terhenti, pemerintah mencoba melakukan sistem Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dengan menggunakan teknologi dalam pelaksanaannya. Pembelajaran jarak jauh atau daring melalui e-learning tidak hanya sekedar membagikan materi pembelajaran dalam jaringan internet. Proses kegiatan belajar mengajar dilakukan juga secara online.[3] Pembelajaran jarak jauh juga menuntut siswa untuk berinteraksi dan ikut serta aktif dalam prosesnya hingga dapat diharapkan menciptakan pengelaman belajar yang sesuai dengan tujuan dalam pendidikan.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim beberapa waktu lalu menegaskan bahwa semua sekolah harus memulai pembelajaran tatap muka (PTM) yang dimulai pada bulan Juli 2021. Rencana Pembelajaran Tatap Muka (PTM) atau Luring diputuskan sesuai dengan SKB 4 Menteri. Salah satu alasan pertimbangan diberlakukanya kembali Pembelajaran Tatap Muka (PTM) adalah adanya dampak negatif bagi peserta didik yang kesulitan menjalankan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Dampak sosial negatif tersebut antar lain penurunan capaian belajar (learning loss), peserta didik yang putus sekolah, hingga kekerasan pada anak.[4] Menurut Mendikbud, pertimbangan kebijakan PTM ini untuk merespon masayarakat yang sudah mengharapkan dimulainya PTM.
Hasil dan Pembahasan
Menurut teori fungsionalis, masyarakat adalah sebuah sistem sosial dimana di dalamnya terdiri dari bagian-bagian atau elemen yang saling berkaitan satu sama lain dan saling menyatu dalam keseimbangan, ketika terdapat perubahan pada satu bagian maka akan memberikan dampak perubahan pula terhadap bagian lainnya di dalam masyarakat.[5] Emile Durkheim sebagai salah satu fungsionalis melihat masyarakat sebagai satu kesatuan yang harmonis dengan bentuk-bentuk solidaritas di dalamnya. Ada kebutuh-kebutuhan yang harus dipenuhi dan dijalankan oleh setiap anggota masyarakat sehingga tidak ada pergesekan konflik di dalamnya yang bisa menimbulkan anomali dan membuat masyarakat terpecah. Salah satu konsep Durkheim adalah solidaritas sosial yaitu bentuk kesetiakawanan pada suatu hubungan antara individu dan atau kelompok, dimana hubungan ini didasarkan pada perasaan moral serta kepercayaan bersama dan diperkuat oleh pengalaman emosional bersama.[6]
Kebijakan SKB 4 menteri yaitu Kementeri Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Dalam Negeri. Pembelajaran tatap muka di sekolah ditetapkan sejalan dengan program vaksin bagi guru, dosen, dan tenaga kependidikan yang terus berjalan. Setiap sekolah yang memberlakukan belajar tatap muka, wajib menerapkan protokol kesehatan. Sebelumnya sudah ada sekitar 22 persen sekolah yang menjadi pilot school memeberlakukan sekolah tatap muka. Kapasitas belajar tatap muka di sekolah sebesar 50 persen dan 50 persen lainnya melakukan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Ketentuan Pembelajaran Tatap Muka siswa harus dengan persetujuan orangtua dalam artian bahwa siswa dapat memilik PJJ atau PTM. Mendikbud Nadiem Makarim juga mengatakan bahwa guru dan tenaga pendidikan menjadi prioritas vaksin tahap kedua.
Beberapa sekolah yang lebih dahulu menerapkan PTM mendapat respon yang cukup baik dari siswa, namun tidak sedikit orangtua yang merasa khawatir akan kesehatan anaknya. Alasan Mendikbud mebuat kebijakan PTM dikarenakan pekembangan pendidikan Indonesia yang sudah tertinggal jauh. Polemik lain diungkapkan oleh berbagai pakar mengenai resiko yang sangay besar adanya kebijakan tersebut yang dapat meningkatkan angka kasus covid-19 dan adanya klaster baru. Tri Yusnis Miko, pakar Epidemilog dari Universitas Indonesia, menuturkan bahwa PTM dapat dilakukan jika tingkat kasus positif (positivity rate) infeksi virus corona suatu daerah rendah atau kurang dari 5% hingga masuk kategori aman. Menurutnya, tingkat kasus harian covid di Indonesia masih sangat tinggi, dan bisa berakibat pada transmisi di kalangan murid sehingga menciptakan klaster covid baru.[7]
Ketika pembelajaran tatap muka akan digalakkan, kebutuhan vaksin terhadap guru serta tenaga pendidikan menjadi hal wajib yang harus diselesaikan dengan segera. Menurut Fajar (2020), jumlah individu yang perlu divaksinasi adalah sebanyak 42,145% penduduk Indonesia dengan cakupan daerah yang masyarakatnya divaksinasi adalah sebesar 75% hingga 86%.[8] Muhammad Marshal Nugroho, dkk, memberi skor urgensi penerapan vaksin yaitu skor 4 pada hasil penelitian mereka terhadap kebijakan pembelajaran tatap muka.[9] Alasan vaksinasi memiliki urgensi tinggi adalah alasan bahwa vaksinasi dapat menciptakan herd immunity (kekebalan kelompok) meskipun tidak secara langsung terbentuk, sehingga dapat melindungi masyarakat Indonesia dari infeksi virus secara berlebih. Hal ini menjadi penting ketika wacana Pembelajaran Tatap Muka (PTM) akan dilakukan, meskipun konsepnya hanya 50% dari jumlah siswa dalam satu kelas, dan tetap meminta izin dari orang tua siswa kepada anaknya untuk datang ke sekolah.
Proses pembelajaran daring berbentrokan dengan beberapa kendala seperti siswa yang tidak mengerjakan tugas karena tidak memiliki fasilitas teknologi serta jaringan yang mendukung. Hal ini mebuat pembelajaran daring menjadi tidak optimal. Masalah tersebut memicu dikeluarkannya kebijakan tatap muka namun itupun tidak optimal seperti yang terjadi di SMA Negeri Ogan Komering Ulu Timur. Kehadiran siswa hanya berjumlah 20 dari total 40 siswa, jam pelajaran berkurang menjadi 23 atau 30 menit, sehingga presentasi optimal dari pembelajaran tatap muka kurang lebih sekitar 98%.[10] Hal senada juga dirasakan oleh para guru di SDN Suniarsih Kabupaten Tegal, yang mengatakan bahwa mereka harus menyesuaikan serta menyederhanakan RPP dengan kebijakan PTM yang berlaku saat ini. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan yang cukup signifikan dari pelaksanaan PTM saat pandemi dibandingkan dengan saat keadaan normal. Pihak sekolah pun memberlakukan bentuk shift, yaitu kelas pagi dan kelas siang demi menjaga siswa serta guru dari transmisi penularan virus Covid-19.[11]