Lihat ke Halaman Asli

Wayang Wong Manggung di Opera House Sydney Australia

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1294018319356663527

Menyaksikan saiaran TVOne Minggu pagi 2 Januari yang menampilkan Jaya Suprana, bos MURI, yang baru-baru ini sukses mengadakan pertunjukan salah satu budaya Indonesia yang telah diakui dunia sebagai “warisan dunia”, yaitu Wayang Wong atau Wayang Orang. Wayang orang Indonesia menapak sejarah dalam budaya populer dunia. Untuk kali pertama dalam sejarah, seni budaya asli asal Jawa ini tampil di Sydney Opera House pada 18 Desember 2010 lalu. [caption id="attachment_81371" align="alignleft" width="300" caption="Semar dan Punakawan"][/caption]

Meski kesenian wayang orang makin sepi peminat di tanah air, tak membuat Jaya Suprana berkecil hati. Jaya tetap melestarikan wayang orang, dengan membawa wayang orang tampil di Sydney, Australia.

"Kita patut bangga, karena untuk masuk ke Opera Sydney itu sangat susah. Bahkan orang-orang di dunia ingin tampil di opera tersebut. Tapi kita tampil di sana tanpa memberikan DVD atau kaset sebagai bukti kemampuan kita," demikian Jaya Suprana. Lewat cerita berjudul Ganjaran Gatot Kaca, pendiri Museum Rekor Indonesia (MURI) itu telah mengenalkan budaya asli Indonesia ke luar negeri. Hal itu dilakukan sebagai bentuk kecintaannya terhadap budaya leluhur. Mengenai pemilihan lakon Gatotkaca, Jaya mengatakan bahwa  tokoh tersebut menampilkan sisi "superhero" dan juga kepahlawanan. "Tak ada dalam tokoh-tokoh superhero di dunia ini yang mampu sekuat Gatotkaca. Jadi itulah sebabnya kami memilihnya," tutur Jaya. [caption id="attachment_81372" align="alignleft" width="300" caption="Gatot Kaca"]

12940181821366546106

[/caption] Jaya Suorana mengungkapkan pada awalnya hanya merasa bermimpi wayang orang akan bisa manggung di Sydney Opera House. "Awalnya saya merasa sangat impossible dan gila, tapi ini buktinya seni budaya kita banyak yang mengaguminya," tutur Jaya. Pementasan ini berdurasi sekitar 1,5 jam. Para pemeran bercakap-cakap dalam bahasa Jawa kromo inggil. Namun, Bahasa Inggris juga dipakai sebagai narasi. Jumlah penonton memenuhi 2.000 kursi Sydney Opera House (SOH) sama banyaknya antara warga Indonesia dan non-Indonesia. Rombongan artis wayang orang yang sebagian besar dari Wayang Orang Bharata, Jakarta, untuk pertama kali ini satu cerita wayang orang lengkap dimainkan di Gedung Opera Sydney. Gedung Opera HouseSydney dikenal sebagai salah satu tempat terkemuka untuk konser musik klasik dan teater drama kelas dunia. Gedung seni itu adalah salah satu kebanggaan Australia.

Saya jadi teringat saat kuliah di The University of Melbourne, Melbouren, Australia dulu. Bila ada tim kesenian atau penyanyi yang sedang mengadakan pertunjukan di Auastralia, kami mahasiswa dan orang-orang Indonesia yang bermukim di Auastralia pada umumnya pasti datang menonton. Bukan saja untuk menonton pertunjukan, tapi sekalian bertemu dengan sesama orang Indonesia, sekaligus sebagai pengobat rindu pada tanah air tercinta, Indonesia.

Dengan hanya mendengarkan lagu Indonesia Raya saat upacara HUT Kemerdekaan RI, atau lagu Indonesia Pusaka, air mata bisa berlinang tanpa dapat dibendung. Apalagi bila menonton tari-tarian tradisional dari Sabang sampai Merauke, bukan main bangga rasanya menjadi orang Indonesia saat kita di luar negeri, lebih-lebih bila melihat betapa orang-orang asing itu sangat kagum dengan budaya asli Indonesia.

Tapi kalau tinggal di Indonesia, rasa kebanggan itu agak berkurang.Mengapa?. Karena melihat begitu banyak keburukan-keburukan kita, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. Belum lagi melihat permainan kotor para politician kita yang mau memenangkan partainya dengan menghalalkan segala cara, termasuk dengan money politics.

Laporan Seorang Indonesia Yang Bermukim di Australia

Karena saya tidak menonton langsung pertunjukan tersebut, maka saya ‘copot” saja laporan seoang Indonesia yang sudah tinggal di Sydney selama 2,5 tahun. Inilah laporannya yang telah penulis edit dan disingkat sesuai keperluan:

Salah satu temanku, dua setengah tahun silam sebelum aku hijrah ke Australia berkata kepadaku demikian, Kamu akan merasa lebih dekat dengan Indonesia justru karena kamu tidak lagi tinggal di dalamnya” Dan, sabtu malam lalu, aku membuktikan kebenaran omongannya melalui sebuah pagelaran wayang orang bertajuk The Javanese Traditional Opera Wayang Orang “Indonesia Pusaka” perform “Banjaran Gatotkaca”.

[caption id="attachment_81374" align="alignleft" width="300" caption="Iklan Banjaran Gatot Kaca di Australia"]

1294018633842393182

[/caption]

Meski aku adalah orang Jawa asli dan Papaku penggemar berat wayang tapi sejujurnya aku bukanlah pecinta wayang. Sejauh yang kutahu dari wayang hanyalah ‘pakem-pakem’ simple yang kudapat dari bangku sekolah dasar dan menengah dulu seperti misalnya bahwa Rama itu suami Dewi Shinta, Pandawa itu ada lima, Gatotkaca adalah anak Bima dan memiliki otot kawat dan tulang besi serta hal-hal mendasar lainnya.

Oleh karenanya ketika melihat poster acara terpampang di sebuah restaurant penyedia masakan khusus Indonesia di Kingsford, awalnya aku tak terlalu berminat menonton acara itu hingga akhirnya teman-temanku sesama Indonesian maupun bule yang beristri/suamikan Indonesian mengajakku untuk menonton acara itu lalu aku tak kuasa lagi menolak ajakan itu.

Sydney Opera House

Pemilihan Sydney Opera House sebagai venue acara kupikir juga merupakan satu hal yang istimewa atau setidaknya tampak jelas betapa sebenarnya dalam beberapa sisi, hubungan Indonesia-Australia sangat mesra terbukti dengan sebegitu mudahnya kita mengakses gedung yang bersama Harbour Bridge menjadi landmark kota Sydney itu sebagai tempat pelaksanaan acara.

[caption id="attachment_81375" align="alignleft" width="300" caption="Sydey Opera House tempat pertununkan paling bergengsi di dunia"]

1294018871568812319

[/caption]

Ini bukan kali pertama Indonesia diberi tempat untuk mengadakan acara di sana karena beberapa bulan sebelumnya, Addie MS bersama Twilight Orchestra-nya pernah pula manggung di sana dalam sebuah event musik bertema ke-Indonesia-an tentu saja.

Aneka Ragam Sambutan

Pertunjukan dimulai tepat waktu. Pukul 07.00 pm waktu setempat, MC yang sore itu tampak anggun mengenakan kemeja bernuansa putih dan berjilbab, memulai acara dalam Bahasa Inggris, mengucapkan sepatah-dua patah kata selamat datang lalu memanggil Duta Besar Indonesia untuk Australia untuk memberikan sambutan.

Tak sampai lima menit kemudian, sambutan kedua diberikan oleh Jaya Suprana, ketua rombongan wayang orang yang memang benar-benar dibawanya dari Indonesia. Di titik ini aku cukup terkejut pada ‘keseriusan’ acara ini, dan semenjak Jaya menampakkan dirinya ke atas panggung, yakinlah aku bahwa acara kali ini benar-benar akan bagus karena siapa yang meragukan bos MURI ini dalam mengelola dan menampilkan budaya dan seni khas tradisional Indonesia? [caption id="attachment_81376" align="alignleft" width="300" caption="Jaya Suprana bos MURI, sang penggagas pertunjukan"]

12940190741495333559

[/caption]

Jaya, dalam Bahasa Inggris yang terbata-bata, mengungkapkan bahwa hingga saat itu, masih belum termasuk sumbangan yang diperoleh on the spot, telah terkumpul uang sebesar 10 ribu AUD (Australian dolar) untuk para korban bencana alam di tanah air seperti di Wasior, Mentawai dan Merapi. Uang tersebut secara simbolik diberikan kepada Jero Wacik, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia yang menjadi pemberi sambutan terakhir.

Ada beberapa poin menarik yang bisa kucatat dari apa yang dikatakan Jero Wacik, di antaranya adalah target pemerintah Indonesia untuk mendatangkan lebih banyak lagi wisatawan asing dari Australia untuk mengejar target 1 juta wisatawan tahun depan. Ada pula ungkapan tentang betapa beruntungnya kita yang hadir di situ karena justru pertunjukan wayang orang semegah itu tidak biasa diadakan di Indonesia sendiri.

Armonia Choir

Beberapa saat setelah Jero Wacik mengakhiri pidatonya dan Jaya Suprana mempersilakan tim untuk memulai acara, panggung lantas meredup untuk beberapa waktu hingga MC memanggil Armonia Choir tampil.

Alunan gamelan yang ditabuh para niyaga yang duduk di depan panggung mengiringi para anggota koor masuk ke panggung dalam barisan-barisan rapi. Kebanyakan dari mereka adalah ibu-ibu yang malam itu tampil anggun berkebaya dengan dominasi warna merah maroon. Para pria ada meski tak seberapa jumlahnya, barangkali mereka hadir sebagai penyeimbang suara yang dihasilkan. Dalam waktu lima belas menit, koor yang dikomandani oleh Baruno Wibowo inipun menghibur penonton dengan membawakan dua tembang lawas Jawa, Prau Layar dan Jaranan.

Ya, kalian benar kalau menebak aku sangat menyukai bagian ini. Mulutku tak kuasa ikut melafalkan lirik lagu ‘dolanan anak’ itu. Mataku mbrambangi, larut dalam alunan lagu yang tampil begitu syahdu sementara benakku menoleh ke belakang ke arah sepenggal kenangan hidup masa kecil di tanah Jawa dulu.

Ada semacam kerinduan tapi uniknya kerinduan itu justru menyalahkanku kenapa aku yang tak terdorong untuk mencari secara aktif kebudayaan-kebudayaan lama nan klasikal yang seperti ini di tengah bisingnya jaman ketimbang membiarkan diri terjerembab ke kebudayaan dan seni post-modern yang pertumbuhannya kini bagai cendawan di musim hujan.

It’s a show time!

Pertunjukan dimulai dengan keterangan yang dibacakan MC yang kali ini tak lagi tampak batang hidungnya, telah ‘ndhelik’ ke belakang panggung dan mengontrol acara dari sana. Ia menggulirkan cerita sejak awal mula kenapa “Banjaran Gatotkaca” menjadi lakon pementasan yang jamak diadakan semenjak jaman kerajaan Singasari, Jawa Timur, seribu tahun silam. Tak lupa ia memperkenalkan sosok Raden Gathotkaca yang adalah ksatria unggul dalam cerita Mahabarata dan menjadi tokoh sentral dalam pementasan ini.

Tak lama kemudian, pertunjukan dimulai dan kami pun terbuai dibuatnya. Dalam waktu kurang lebih 1.5 jam ke depannya, Banjaran Gatotkaca disajikan dalam penggalan-penggalan (scenes) sehingga terkesan tidak terlalu berat dan komprehensif.

Berikut adalah urut-urutan scenes yang disajikan seperti yang kusarikan dari buku petunjuk yang ada dalam kemasan goodie bagnya: The Birth of Gatotkaca, The Prophecy, Chandradimuka Crater, The Coronation, Pergiwa Pergiwati, Goro-Goro, The Romance, The Royal Wedding, The Great War Commences, The Women’s Army, One on One, The Night Attack dan The Death of Gatotkaca.

Dengan waktu yang lumayan singkat dan muatan cerita yang cukup panjang, toh imbuhan “dagelan” yang biasa ditunggu-tunggu dalam pertunjukan wayang orang maupun ketoprak di tengah gugusan cerita yang serius masih pula sempat ditampilkan. Malam itu secara cemerlang punokawan (semar – gareng – petruk – bagong) dalam scene ‘Goro-Goro’ mampu mengocok perut penonton lewat humor yang keluar dari pakem wayang aslinya, menyentil hal-hal yang terjadi di kanan-kiri masa kini.

Pemanfaatan multimedia berupa screen, meski belum terlalu optimal, juga cukup memberi warna dan seolah menjadi ‘lengan tambahan’ untuk mempertebal kesan pada cerita seperti misalnya pada saat Gatotkaca harus terbang. Aku ingat dulu ketika beberapa kali nonton wayang di televisi, si pelakon Gatotkaca, pada setiap adegan terbang, ia harus membentangkan selendangnya lalu menari ke sana kemari.

Sekilas tentu hal ini bukan sesuatu yang ‘terbaca’ sebagai “Oh, dia sedang terbang” karena masa iya si Gatot terbang menggunakan selendang? Nah, dengan adanya screen tersebut, si Gatotkaca tinggal menari putar kiri-kanan sesaat lalu menghilang ke balik layar dan keberadaannya lantas diwakili oleh screen yang menunjukkan bahwa ia, Gatotkaca, sedang terbang di antara awan dan birunya langit.

Lalu yang tak kalah menarik terkait penggunaan screen sebagai pendukung cerita adalah saat akhir pementasan, melalui screen kita bisa tahu betapa dahsyat perang Barathayudha itu. Aku membayangkan, jika tak ada penggambaran betapa hebat pertempuran yang terjadi melalui screen, barangkali aku dan semua penonton yang tak tahu banyak tentang wayang akan berpikir bahwa Barathayudha itu memang perang tapi ya just another war… bukan suatu perang besar.

Saking menariknya pertunjukan wayang orang ini, apresiasi penonton berupa tepuk tangan nyaris selalu terdengar membahana setiap pergantian setting cerita. Agak mengganggu sebenarnya karena jalinan cerita toh belum benar-benar usai dan kupikir dibutuhkan keheningan sebagai jeda antar section, bukannya gegap gempita seperti itu. Demikian pula ketika MC mengumumkan kematian Gatotkaca sesaat setelah ia bertarung melawan Adipati Karna, terdengar lenguhan dari penonton “oughhhhh” yang di sini kerap digunakan untuk meluapkan keprihatinan.

Well Organized!

Ada beberapa sisi positif yang bisa kurangkum mewakili banyak kesan yang bermunculan terkait acara itu. Yang paling mengutama pikirku adalah betapa event ini terselenggara dengan sangat teratur dan sangat baik! Beberapa kali aku mengikuti acara-acara berbau “Indonesia” di sini mulai dari festival Agustusan, festival budaya hingga katakanlah acara Natalan bersama di Konsul Jendral, tapi aku harus bilang bahwa pertunjukan Wayang Orang “Banjaran Gatotkaca” ini yang terbaik!

Barangkali hal ini terjadi karena ada pemilahan panitia lokal yang mempersiapkan acara serta tetek bengeknya dan panitia produksi pertunjukan yang berkonsentrasi pada tata teknis pelaksanaan produksinya. Tak hanya dari ketepatan waktu pelaksanaan namun juga pada banyak hal seperti misalnya kemasan tiket yang dibuat se-preofesional mungkin, tak kalah dengan bentuk dan design tiket pertunjukan yang kerap digunakan di sini.

Profesional dan Indah

Tak salah memang kalau Jero Wacik berujar bahwa pertunjukan ini langka, sebuah pertunjukan maestro yang berkelas dalam genre perwayangan. Mulai dari paduan suara yang indah yang tidak blero, tatanan musik yang terkesan agung lewat tangan para niyaga di balik perangkat gamelan hingga gemulai tari para pemain wayang dibalik gemerlapnya kostum, kesemuanya adalah sajian yang indah, profesional dan sangat “tak biasanya!”

Itulah semua yang bisa kuceritakan pada malam yang begitu membanggakan bagiku sebagai orang Indonesia. Bagiku ini adalah ‘hidangan’ akhir tahun yang indah.

Orang Asing Lebih Menghargai Budaya Kita

Dari laporan reporter TVOne yang mewawancarai beberapa penonton “bule”, mereka menyatakan kekagumannya dengan budaya Indonesia, mereka sangat terkesan dengan tari-tarian dan music gamelannya.

Berdasarkan pengalaman penulis selama tinggal di Australia, orang Australia, bukan hanya senang dengan kebudayaan Indonesia seperti tari-tarian, musik dan pakaian adat, tapi juga masakan tradisional Indonesia. Persis seperti yang dikatakan Presiden Obama saat “mudik” ke Jakarta beberapa waktu yang lalu. “Saya suka sate, nasi goreng, kerupuk, dll”.

Kalau ada Indonesian Food Fair, banyak sekali orang bule datang “menyerbu” masakan Indonesia. Penuslis dan teman-teman pernah jualan sate biri-biri (di sana tak ada kambing). Dalam waktu singkat ludes terjual saat ada bazar maskan Indonesia dalam rengka memeriahkan HUT Kemerdekaan RI, padahal harganya mahal, 1 dolar per tusuk sate!.

Tapi tragisnya, sementara orang-orang “Barat” mengagumi budaya dan masakan tradisional Indonesia, tapi generasi muda kita justru senang kesenian Barat dan makanan cepat saji ala Amerika. Kasihan sekali bangsa ini.

Depok, 3 Januari 2011

Bakaruddin Is

Dari berbagai sumber di internet

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline