AMEL melepas pandangan ke lautan manusia dihadapannya. Eh bukan lautan sih danau mungkin. Danau manusia soalnya ngga luas-luas amat. Dia baru saja naik ke atas mobil sang orator yang sedang teriak-teriak menyemangati massa yang semakin panas di tengah terik matahari ini.
Amel berdiri di samping orator itu dan memperhatikannnya. Hmm siapa yaa? Ga kenal, pikirnya. Ngomongnya asal jeplak aja, anehnya disambut sorakan massa. Amel menggeleng-gelengkan kepalanya. Rambutnya yang diikat ekor kuda ikut bergerak-gerak. Amel tersenum jahil. Dia menirukan kepalan tangan sang orator beberapa saat. Bosan dengan aksi bayangan dia mengendap ke belakangnya dan membuat tanda kuping kelinci di atas kepala sang orator. Sayangnya tidak ada yang tetawa, tidak ada yang melihat apa yang dilakukan amel.
Bahkan tidak ada yang melihat Amel di atas sana. Tapi tiba-tiba pandangannya beradu dengan seseorang yang berdiri beberapa meter dari mobil, Amel bergerak mundur dengan pelan. Seseorang di bawah sana melihatnya dengan tajam. Amel terkejut melihat orang itu diam dalam danau manusia yang berteriak-teriak. Amel terkejut ia bisa melihatnya.
Amel terantuk dan terhatuh di bangku penumpang. Sang orator melihatnya. Hey! Lo siapa?! Mau ngapain lo?! Amel diam tapi bergerak cepat menghindari sergapan sang orator dan beberapa orang yang berdiri di mobil itu. Hey! Penyusup!
Amel meloncat turun dan berlari di antara kerumunan. Orang-orang belum sadar apa yang terjadi. Hey! Penyusuuup! Orang-orang di atas mobil mulai berloncatan dan mengejarnya. Amel berlari ke arah gedung, ke arah pagar berduri, ke arah para penjaga hukum yang siap dengan tameng. Heyyy! Teriak orang-orang mulai ricuh. Orang-orang mulai berdesakan ingin tahu apa yang terjadi.
Amel menyelip di antara kerumunan massa. Ia mencoba mendesak dan berlari di dalam kerumunan. Ia harus keluar dari sana. Jantungnya berdetak kencang, adrenalin mengalir deras membuatnya ingin menangis ketakutan sekaligus tertawa semangat.
Ia merasa bumi berjalan lambat. Massa mulai menyadari orang-orang dari atas mobil berlari mengejarnya. Banyak tangan berusaha menggapainya. Ia terjepit. Seketika seseorang memegang bahunya dengan keras. Ia merasakan udara seperti menekannya dari segala arah, membuatnya sesak, ingin berteriak tetapi tak bisa. Dengan suara lembut di telinganya, puff, tiba-tiba udara yang menekannya menghilang.
Amel terjatuh. Buru! Ngaleungit! Suara berat seorang lelaki menyadarkannya. Sebelum ia sempat melihatnya dengan jelas orang itu sudah menghilang seperti sulap. Amel mendengar gemuruh massa yang mulai mendesak dan merusak pagar berduri. Mereka menunjuk-nunjuk Amel. Amel cepat sadar dan ia menghilang juga. Menghilang seperti gambar yang dihapus dari tempatnya.
Amel yang tak terlihat berlari ke arah gedung. Sadar bahwa tak ada yang melihatnya, ia berjalan dan duduk di pelataran. Dilihatnya kericuhan itu diatasi pasukan dengan semprotan air. Aaah dada Amel sesak. Ia merasa bersalah. Semoga tak ada yang terluka, pikir Amel.
Amel diam memandangi peristiwa di hadapannya. Ia diam menyadari ada hal penting yang tengah digodok dan akan diputuskan di dalam gedung dibelakangnya. Amel menggleng lagi. Dia sungguh tidak suka kejadian-kejadian yang terjadi beberapa bulan ini. Sekarang orang akan bertanya terlebih dahulu sebelum berteman atau bekerjasama. Menyelidiki apakah kawan atau lawan.
Amel tidak pernah berpihak pada salah satu capres. Ia tidak pernah menyatakan dukungannya pada salah satu calon pemimpin negara ini. Ia tidak suka isu-isu yang beredar. Ia sungguh muak melihat pendapat orang-orang yang merasa paling benar. Ia selalu merasa heran kenapa sih orang-orang membela mati-matian para capres ini. Kenapa? Kenapa? Ia terlebih heran pada orang-orang yang memfitnah dengan mudahnya. Fitnah itu terbang dengan ringannya seperti bulu dan menyebar (hanya Tuhan yang tahu) kemana saja. Ia lebih heran, banyak orang yang menangkap bulu itu dan menerbangkannya lebih jauh. Husssh.