Lihat ke Halaman Asli

Budaya Prosedural Lemah, Tak Harus Selalu Salahkan Penegak Hukum

Diperbarui: 24 Juni 2015   19:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Carut marut yang terjadi di Indonesia tidak semata salah pemerintah seperti yang selama ini disuarakan oleh banyak pihak. Banyak aspek yang memiliki andil dalam keterpurukan negara ini. Salah satunya ialah budaya prosedural atau budaya hukum yang lemah pada kebanyakan masyarakat.

Dewasa ini, sudah menjadi hal biasa kita mengetahui seseorang mebuat Surat Izin Mengemudi (SIM) secara ilegal dan melalui jalur “belakang”. Tidak ada tindakan yang tegas terhadap pelanggaran masalah ini. “Cuma orang enggak waras yang bikin SIM enggak nembak,” ujar seorang ahli hukum dan sosiolog, Yesmil Anwar.

Bisa kita simpulkan secara logis, bisa jadi hal tersebut adalah akar dari salah satu masalah negeri ini, yaitu besarnya tingkat kecelakaan kendaraan bermotor. Bisa saja, terlalu mudah dalam mendapatkan SIM menjadikan kredibilitas pengendara bermotor di jalanan tidak terukur. Seharusnya, kemampuan berkendara motor ditekankan betul sebelum seseorang diizinkan berkendara di jalanan umum. Solusinya,  apa lagi kalau bukan budaya prosedural ditanamkan.

Hal di atas merupakan salah satu contoh bagaimana masyarakat kita masih minim keresahan akan dampak dari tindakan melanggar prosedur. Berawal dari pelanggaran, berlanjut pada penegakkan hukum yang lemah, akibat yang tidak disadari, kini hal tersebut menjadi budaya pada bangsa kita, budaya nyeleweng. Di sini maksudnya adalah, “ya kalau bisa mudah dan lebih praktis, ngapain ngikutin prosedur yang sulit”.

Hal ini teraplikasikan secara masiv pada aturan lalu lintas kita, tak pernah sekali pun dalam sehari saya tidak melihat sebuah bentuk pelanggaran aturan lalu lintas. Dengan motif tidak ingin memutar jauh, banyak sekali pengendara kendaraan roda dua jadi melawan arus sebuah jalan. Banyak sekali kita bisa melihat anak di bawah umur membonceng dua temannya sekaligus (bonceng tiga) di jalanan umum di negeri kita.

Hal ini terus berkembang dan menjamur di negeri kita. Suatu sore saya sedang menanyakan alamat pada seorang petugas di kantor polisi lalu lintas di kawasan kabupaten Sumedang. Jawaban yang saya dapatkan adalah “Ke situ aja, dik! Nerobos dikit saja dik biar dekat, kalau muter kan jauh, dik,” ujar seorang petugas.

Hal tersebut seharusnya membuat kita berpikir, siapa lagi yang memuja hukum di saat tidak sedikit penegaknya yang menginjak-nginjak kebijakan yang seharusnya mendidik masyarakat? Bila budaya hukum melekat pada setiap individu di negeri kita, bayangkan bagaimana teraturnya sistem negara dan bangkitnya kualitas negara kita.

Masalah-masalah yang kini hangat sedang dijanjikan akan diselesaikan oleh Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo adalah kemacetan dan banjir. Kedua masalah tersebut kalau  dilihat secara dangkal pun masalahnya adalah : ketidaktaatan pada prosedur lalu lintas dan pelanggaran prosedur sederhana yaitu buang sampah pada tempatnya.

Kuat atau tidaknya budaya prosedural juga bisa ditentukan pada dari lingkungan keluarga seperti apa kita tumbuh. Penerapan aturan dalam keluarga saat kita tumbuh dari kecil hingga dewasa pun saya nilai cukup berpengaruh.

Penerapan hidup prosedural oleh orang tua secara tidak sadar bisa membentuk pribadi-pribadi yang prosedural. Misalnya, saat seorang anak membutuhkan SIM, seharusnya orang tua tidak memberikan opsi untuk ‘nembak’. Atau sederhananya, pemberian hukuman saat anak membuang sampah sembarangan.

Walaupun beberapa faktor di atas (penegak hukum dan lingkungan keluarga) bisa saja disalahkan atas fenomena budaya hukum lemah ini, namun ada baiknya kita berkaca dahulu pada diri sendiri. Apakah kita sudah menaati prosedur dalam hal sesederahana mungkin?

Di atas sudah secara singkat saya gambarkan bahawa hanya dengan kita memuja hukum dan bersikap prosedural banyak masalah yang bisa teratasi. Jadi, sebelum kita berbicara tentang sistem pemerintah dan menyalah-nyalahkan pejabat negeri ini, ada baiknya kita menjadi warga negara yang baik dulu. Warga negara dengan budaya hukum.

Banyak sekali kita lihat di media sosial, masyarakat kita berbicara panjang lebar tentang bagaimana bobroknya sistem pemerintahan kita. Seakan kondisinya masyarakat tidak dihargai dan diinjak-injak oleh pemerintah, penegak hukum, dan pihak-pihak lainnya yang mewakili negara.

Kalau kita lihat secara logika, dengan kita tidak mematuhi prosedur, tidak dibiasakan menaati hukum, itu sama saja masyarakat yang telah menginjak-nginjak penegak hukum dan pemerintah yang memiliki kewenangan membuat kebijakkan.

Jelas fenomena ini menggambarkan adanya krisis kepercayaan antara birokrat dan masyarakat. Saling skeptis satu sama lain, pemberontakan, hingga hal sederhana berdampak sangat luas. Seharusnya terjadi kesinergisan antara kedua pihak tersebut. Sebagai individu, sebaiknya kita mulai masalah besar ini dengan perbaikan sikap yang sederhana.

Setelah kita yakin kita telah menjadi individu dengan bdaya hukum, jadilah role model yang baik untuk setidaknya orang-orang di sekitar kita. Suatu saat, sistem negara ini akan menjadi baik, negara ini akan menjadi negara yang padu dan terus bergerak ke arah kejayaan. Siapakah yang memulai ini semua? Tentu saja diri kita sendiri.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline