Mungkin, ini akan menjadi akhir segala….
Bagaimana hidup seorang diri? Tidak ada definisi yang mampu menguraikan gusar hati saat ingin ada tangan kekar memapahku dari jalan buntu. Terlahir sebagai wanita, aku membutuhkan segala dari pria. Rupa yang elok tidak menjamin pria hinggap dalam hariku, bahkan dalam mimpi pun tak pernah kutemui pria menawar senyum pada sepi hatiku.
Kata orang, aku terlampau memilih pria yang menjenguk masa mudaku. Umur memang tidak pernah tawar-menawar dalam hal apa pun. Saat masa menjatuhkan usia untuk segera berlabuh dalam pelukan pria idaman, aku malah duduk menyendiri dalam ruang gelap.
Wanita mana yang akan bertahan sendiri? Di usia muda, saat tenaga masih bisa dipaksa mencari rejeki wanita mana pun tidak mau bergantung hidupnya pada pria. Termasuk aku. Terlalu egoiskah aku dalam hal memilih jodoh? Tentu saja tidak semudah saat tulisan ini kurangkai jadi kata-kata panjang pemanis mata dan rasa. Banyak pertimbangan sehingga aku tidak mencari pria menjadi pasangan hidupku. Ah, kesannya sangat berlebihan jika aku yang mencari pria. Bagaimana pun adat ketimuran yang kupegang teguh, semestinya pria yang mengejar-ngejar cintaku.
Cinta? Apa yang kuketahui tentang lima huruf yang dirangkai menjadi sebuah kata, yang bagiku bermakna hambar sekali. Di angka empat ditambah tiga, menjadi usia yang sangat berat bagiku. Dulunya, aku tidak pernah memikirkan ke mana hatiku akan berlabuh. Semenjak wajahku mulai tak elok lagi, baru kusadari belum pernah ada satu pria pun yang menjamah tubuh semampaiku.
Percuma saja kupelihara badan yang sempurna jika setiap perjumpaan dengan laki-laki tampan kubuang wajah jauh-jauh.
“Sekali-kali kau harus mengalah, Ai!” ujar Butet. Wanita paling gemuk di kantorku itu sudah beranak tiga di usia pernikahan hampir sepuluh tahun. “Tak indah pula hidup kau itu sendiri saja! Kau tengoklah aku, biar hitam pekat kayak malam tak berbintang, berat melebihi dua kali badan kau itu bahkan lebih, tetap saja ada yang mau!” Butet menambahkan sambil mengunyah makanan ringan di depan mejanya. Walau sudah lebih sepuluh tahun kerja di sini, Butet tetap saja mempertahankan logat Medan di mana pun suaranya terdengar.
Aku manyum. Sudah sering pula kudengar Butet memberi petuah masalah hidupku yang semakin hari semakin keriput.
“Kukasih tahu sama kau! Bijak-bijaklah kau bersikap, tak perlu kau merengek pun orang pasti mau sama kau itu!” Butet masih terus bicara sembari membenarkan letak kerudungnya yang tak pernah benar semenjak kukenal dia. “Kau itu cantik, tinggi, pintar, sudah pernah ke mana-mana, kenal dengan banyak orang, bekerja untuk wanita korban konflik maupun tsunami. Masa kau lupa masalah jodohmu sendiri! Itu yang aku tak suka dari kau itu!”
Aku sudah terbiasa dengan ucapan Butet. Bahkan aku sering pura-pura paham akan omongannya. Di antara rekan sekantor lain, Butet paling mengerti nasib wanita lajang sepertiku. Pernah sekali dua kali Butet kenalkan padaku anggota grup futsal suaminya, pernah juga aku menghabiskan beberapa waktu bersama seorang pria yang sangat mapan. Namun, lagi-lagi aku menghindar saat pembicaraan mengarah ke arah lebih serius.