Lihat ke Halaman Asli

Bai Ruindra

TERVERIFIKASI

Guru Blogger

Petani dan Nelayan THR Dari Mana Tahun Ini

Diperbarui: 1 Juli 2015   09:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Memang ironis. Di saat pegawai swasta mendapatkan THR (Tunjangan Hari Raya), pegawai negeri sipil mendapatkan gaji ke-13 (sama dengan THR nggak ya), maka para buruh yang kerja dengan keringat terus mengalir deras, hanya bisa memanjatkan doa supaya padi cepat menguning lalu gabah bisa dijual dengan harga murah untuk membeli keperluan hari raya. Malang melintang si padi tak pernah ingkar janji. Satu musim baru menguning (empat bulan lebih kurang). Ditanam sekarang, lebaran tak lama lagi, maka padi hanya bisa menanjak menuju puncak di bilangan hari tak tentu. Si nelayan pun berbeda nasib, ikan kecil hasil tanggapannya hanya mampu untuk mengepulkan dapur tiap sore. Cari ikan hari ini, dijual pun di hari yang sama.

Petani dan nelayan tak pernah pasrah. Tak pernah mengeluh. Tak pernah menyalahkan siapa dan mengapa. Tak pernah membentak atasan karena mereka bekerja sendiri. Tak pernah melawan arus karena memang dirinya berjalan lurus ke masa depan dengan tanpa memikirkan utang bank maupun kredit mobil mewah.

Pegawai swasta dan pegawai negeri gaji terlambat masuk rekening terus mengeluh sampai batal puasa. Gaji ke-13 belum jelas terus menagih-nagih dalam gosip bersama rekan kerja. Padahal, pegawai negeri telah diberikan “uang manja” ini itu dari pemerintah. Ada dana sertifikasi setara gaji bagi guru, ada tambahan gaji (remunerasi) bagi pegawai nonguru, ada uang makan tiap hari yang dibayar bulanan, ada uang tunjangan, ada uang ini dan itu. Itupun belum cukup. Mengapa tidak bersyukur? Si pegawai swasta lebih adem ayem jika dibandingkan pegawai negeri. Gaji naik jika mendapat modus hasil kerja keras. Tak ada tambahan gaji ini itu.

Kembali ke petani dan nelayan di negeri tercinta ini. Mereka cukup banyak di bumi pertiwi. Tak pula mereka melakukan demontrasi besar-besaran. Tak pula mereka memboikot untuk tidak menjual gabah maupun ikan. Tak pula mereka mencari suaka ke pemerintah untuk diberikan gaji bulanan karena gabah maupun ikan yang mereka tangkap untuk “dilahap” oleh pegawai negeri maupun swasta.

Petani dan nelayan bekerja saja sesuai profesi mereka. Padi layu sebelum berkembang, belum rejeki namanya. Padi terkena banjir, begitulah nasib padi itu. Padi disarang hama, belum saatnya padi itu membawa berkah. Ikan tak sebanyak yang diharap karena laut bergelombang besar, mungkin ikan itu bosan mendekati nelayan. Ikan hanya didapat seember saja, lain kali dijala lagi.

Petani dan nelayan tak pernah memikirkan tunjangan hari raya. Karena mereka tidak mempunyai atasan untuk memberikan mereka THR. Petani dan nelayan sudah terbiasa dengan kebiasaan tak mengeluh. Usaha saja apa adanya karena menjelang hari raya, anak istri pasti akan mengenakan baju baru walaupun dengan harga murah yang dijual di pinggir jalan.

Petani dan nelayan itu, mereka selalu bersyukur. Karena syukur itu Tuhan memberikan lebih di bulan Ramadhan. Entah dari mana rejeki itu ada. Anak petani dan nelayan tetap bisa memamerkan baju baru di depan teman-temannya yang anak pegawai negeri dan swasta. Adakah anak-anak akan bertanya berapa harga baju baru itu?

Petani dan nelayan tak lain tulang punggung pegawai negeri dan pegawai swasta. Mengapa pula dua profesi terakhir sering mengeluh terlambat gaji? Tak dapat THR maupun belum masuk gaji ke-13.

Petani dan nelayan sudahkah mereka mati kelaparan? Mereka tetap puasa walaupun penganan berbuka seadanya. Mereka tetap makan sahur walaupan lauknya “sisa” berbuka. Mereka tetap ke sawah di hari terik. Mereka tetap melaut di tengah lautan dengan air laut seluas mata memandang dan matahari di atas kepala. Mereka tetap bekerja karena THR itu datang dari hasil jerih payah mereka itu sendiri.

THR petani dan nelayan itu cukup. Tuhan tidak pernah melebih-lebihkan THR mereka. Karena petani dan nelayan akan berterima kasih jika anak-anak mereka tersenyum dengan baju baru. Karena uang yang dicari selama bulan puasa, walaupun cukup untuk membeli makanan berbuka, tetap saja ada sisa sampai tiga hari raya, sebelum mereka kembali bekerja.

Uang tidak cukup karena manusia itu tidak bersyukur. Tiap saat pegawai negeri mengeluh kekurangan uang; disitulah Tuhan menarik keikhlasannya dalam bekerja. Kapan saja pegawai swasta mengeluarkan suara tak pernah dapat bonus; disitulah ia seharusnya berkaca diri terhadap pekerjaan yang dijalaninya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline