Lihat ke Halaman Asli

Bai Ruindra

TERVERIFIKASI

Guru Blogger

Nasib Guru Honor di Hari Buruh

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Para buruh turun ke jalan tiap 01 Mei. Belakangan, 01 Mei bahkan menjadi hari libur nasional. Segitu pentingkah sehingga dirayakan? Bagaimana konsep buruh dalam arti sebenarnya? Siapa saja yang termasuk dalam golongan buruh?

Buruh itu pekerja. Disuruh lantas digaji. Begitu kasarnya.

01 Mei juga dikenal dengan May Day. Padahal, hari-hari sebelumnya juga serupa, para pekerja tetap bekerja sehingga dapur mereka dapat mengepul. Hari buruh sendiri disahkan oleh SBY dan tertuang dalam Keppres Nomor 24 Tahun 2013, sehingga 01 Mei menjadi hari libur nasional yang ternyata juga dilaksanakan secara serentak di negara-negara Amerika, Eropa Asia dan Afrika.

Buruh di Indonesia, tidak hanya di hari buruh saja, sering sekali meneriaki hak-hak mereka yang belum terpenuhi. Padahal, jika menilik jumlah upah yang diterima, para buruh justru diuntungkan. Buruh diganjar dengan gaji sesuai upah minimum suatu provinsi (masing-masing provinsi memiliki standar upah). Namun pada kenyataannya, buruh tetap saja tidak puas dengan service yang diberikan perusahaan tempat mereka bekerja. Alih-alih berdamai, buruh kerap memprotes dan mengatakan diperlakukan tak adil.

Di sisi lain, guru honor juga termasuk salah satu buruh yang diabaikan. Namun semakin hari semakin banyak lulusan perguruan tinggi yang mengabdi menjadi guru honor. Saya menekankan, guru honor tak ubah sama dengan buruh. Perbedaannya, terletak pada dibayar dan tidak dibayar. Buruh dibayar sesuai upah minimum sedangkan guru honor dibayar jika ada uang sisa. Walaupun belakangan diberikan sedikit uang lelah jika guru honor tersebut memiliki NUPTK (Nomor Unik Pendidikan dan Tenaga Kependidikan). Jumlah yang ditransfer ke rekening para guru honor itu adalah Rp. 250 ribu perbulan dan dibayar persemester bahkan pertahun. Bandingkan dengan buruh yang mendapatkan gaji perbulan di atas Rp. 1,5 juta perbulan tetapi masih saja merasa tidak puas dan diabaikan kedudukan mereka.

Perjalanan buruh dikatakan rumit karena harus bekerja 8 jam sehari. Bagaimana dengan guru honor? Guru honor dituntut juga bekerja dari pagi sampai siang (pulang sekolah), bahkan diwajibkan absen online di tahun 2015. Guru honor disamakan dengan guru pegawai jika ingin mendapatkan tunjangan yang telah saya sebutkan di atas. Paling tidak, guru honor harus mengajar mencapai 18 – 24 jam pelajaran dalam seminggu. Berbagi dengan guru pagawai yang sudah tersertifikasi.

Apa dampak yang diterima guru honor di hari buruh dunia? Gaji guru honor tetap tidak ada. Perubahan hidup tetap tidak berubah. Pulang dari sekolah harus ke sawah. Ke ladang. Ke pekerjaan lain yang menghasilkan uang jika ingin dapur mereka tetap mengepul. Berbeda dengan buruh yang tiap bulan menerima gaji lumayan besar. Setengah hari di sekolah, mengajar dengan ikhlas lebih dari cukup mengingat guru honor harus bekerja sambilan sepulang sekolah. Guru honor harus berbagi fokus, jika ingin hidup, kecuali ingin kelaparan, anak istri tidak ternafkahi.

Masalah lain justru muncul di kala guru honor harus ikut upacara ini dan itu. Peringatan Hari Guru misalnya, hari kemerdekaan dan hari-hari lain. Guru honor “diwajibkan” ikut walaupun dengan biaya sendiri (ongkos pulang pergi). Padahal, di hari libur seperti itu, guru honor bisa ke sawah atau ke kebun karet.

Lantas, siapa yang memperhatikan guru honor yang jumlahnya sebelas dua belas dengan buruh yang memperingati hari kemerdekaan mereka di 01 Mei?

Masa depan memang tidak ada yang tahu, namun permintaan ini itu dari buruh sebaiknya dipertimbangkan dengan matang. Masih banyak buruh-buruh lain yang bekerja tanpa tercatat di perusahaan besar. Di kampung-kampung nan permai di negeri indah ini, para pekerja di sawah, nelayan, kuli bangunan, mereka adalah buruh yang tidak mendapatkan gaji perbulan dengan nominal yang telah ditentukan.

Filosofinya; jika ingin makan, bekerjalah!

Guru honor – atau pekerja yang tidak memiliki gaji tetap – memegang filosofi demikian. Guru honor tidak mendapatkan jaminan kesehatan dari lembaga yang menerima tenaga mereka. Buruh mendapatkan jaminan kesehatan dari perusahaan yang mengontrak jerih payah mereka. Guru honor – jika tidak menjadi pegawai – masa tuanya tetap begitu-begitu saja, tak ada pesongan hidup. Buruh yang tercatat identitas di perusahaan, begitu usai masa kerja akan mendapatkan pesangon sesuai ketentuan yang berlaku. Beranjak ke iming-iming pemerintah yang mensertifikasi guru honor, itu pun hanya sebuah mimpi yang sulit terealisasi, mengingat semakin banyak guru honor di negeri ini.

Ada baiknya buruh berhati legowo seperti guru honor, ikhlas saja menerima apa yang ada. Bersyukur saja sebelum semua kenikmatan itu diambil kembali. Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline