Sistem Zonasi: Siapa yang Sebenarnya Dimerdekakan?
"Ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani" -- pepatah penuh makna dari Ki Hajar Dewantara ini menegaskan esensi kemerdekaan individu yang sejati. Filosofi ini menuntun manusia untuk menjadi pribadi yang mandiri dan mampu menentukan jalan hidupnya sendiri. Namun, visi "manusia merdeka" yang diusung oleh Bapak Pendidikan Indonesia tampaknya masih sebatas ilusi dalam realitas pendidikan kita saat ini. Salah satu contohnya terlihat dari implementasi kebijakan sistem zonasi dalam dunia pendidikan.
Sistem zonasi, yang awalnya dirancang untuk pemerataan akses dan memperkecil ketimpangan, ternyata menghadapi tantangan besar dalam praktiknya. Kebijakan ini bertujuan mulia, seperti menghindari praktik 'pembelian kursi' di sekolah favorit, namun kenyataan di lapangan menunjukkan hasil yang jauh dari harapan. Banyak orang tua tetap bersikeras mendaftarkan anak-anak mereka ke sekolah favorit di luar zona tempat tinggalnya, meskipun hal ini bertentangan dengan aturan zonasi. Hal ini mencerminkan kurangnya kepercayaan orang tua terhadap kualitas sekolah yang berada di dalam zona mereka.
Selain itu, peraturan yang dituangkan dalam bentuk Permendikbud lebih menekankan kedekatan geografis dibandingkan dengan prestasi akademik, sehingga mengurangi fleksibilitas siswa dalam memilih sekolah. Padahal, filosofi Ki Hajar Dewantara menekankan bahwa pendidikan harus menuntun, bukan memaksa, demi membentuk individu yang bahagia.
Ironisnya, sistem zonasi juga membuka celah bagi penyalahgunaan kekuasaan. Oknum tertentu dapat memanfaatkan kedekatan dengan pihak-pihak terkait untuk memanipulasi data, seperti kemudahan dalam mengalihkan alamat, agar anak-anak mereka dapat masuk ke sekolah favorit meskipun tidak berada di zona tersebut. Hal ini menunjukkan bagaimana kekuasaan tetap memiliki pengaruh besar dalam akses pendidikan, bahkan dalam kebijakan yang dirancang untuk menghilangkan diskriminasi.
Sistem zonasi di Indonesia mencerminkan hubungan kompleks antara pendidikan dan kekuasaan. Meskipun kebijakan ini bertujuan mengurangi ketimpangan, implementasinya justru kerap memperburuk ketidakadilan yang ada. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendalam: apakah sistem pendidikan kita benar-benar memerdekakan individu sesuai cita-cita Ki Hajar Dewantara, atau hanya menjadi alat kekuasaan yang merampas kemerdekaan itu sendiri?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H