"Pak Kok banyak orang China di Palembang, ya? Tapi kok aman-aman saja?" Itulah pertanyaan menggelitik dari anakku ketika kami berlibur ke Palembang untuk memuaskan rasa ingin tahunya. Kami sekeluarga berkunjung ke dua tempat bernuansa Cina atau Tinghoa. Bahkan keduanya menunjukkan keberhasilan pembauran antara Masyarakat pendatang (China) dengan warga setempat 1. MESJID CHENG HO Mesjid yang namanya mengambil nama seorang laksamana terkenal, Cheng Ho, di mana filmnya diperankan oleh tokoh terkenal kita Yusril Ihza Mahendra. Sosok Laksamana dan penjelajah Muslim dari Tiongkok nan tangguh. Didirikan tahun 2003, mesjid ini diresmikan 2006 meski sampe sekarang (2011) masih dilakukan pembangunan. Sumber dana mesjid ini berasal dari PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia/Pembina Iman Tauhid Islam) Melihat arsitektur masjid yang aslinya bernama Masjid Al Islam Muhammad Cheng Ho, anak tertua saya bilang “Kok mirip Klenteng, ya Pak?” Ya itulah keunikan mesjid satu ini…arsitekturnya memang bergaya China dengan perpaduan Melayu dan Nusantara. Setiap sudut ruang, bentuk hingga warna mencolok sangat mendominasi kalau gaya Cina terasa kental sekali. Persis klenteng yang juga banyak ditemui si seputaran Kota Palembang.
Masjid Cheng Ho, yang mampu menampung sekitar 600-an jamaah, menjadi bukti bahwa di Indonesia ada ruang bagi para warga untuk mengekspresikan identitas unik mereka – percampuran tradisi dan budaya Tionghoa dan Islam dalam konteks lokal Indonesia. 2 PULAU KEMARO Pulau yang terletak di tengah-tengah sungai Musi ini menyimpan sebuah legenda….bernama Legenda Pulau Kemaro
Disebut KEMARO karena meski air sungai Musi naik Pulau ini tidak akan kebanjiran alias tetap KEMARAU (KERING). Dengan ongkos P.P. Cuma100 rebu dengan naik Perahu/Ketek sekitar 30 menit. Ombak saat itu cukup besar. Jadi kami harus berpegangan erat pada perahu. Untunglah, Bapak pemilik perahu sangat cekatan.Sepanjang jalan, kita bisa menikmati pemandangan pesisir sungai Musi, termasuk jembatan kebanggaan Wong Kito, Jembatan Ampera, rumah-rumah rakit atau rumah tradisional Palembang, serta tempat-tempat bersejarah lainnya di sepanjang sungai.
Setengah jam perjalanan, Kami sampai di Pulau Kemarau. Asyiknya, ternyata berkunjung ke sana Tanpa tiket masuk. Mirip dengan berkunjung ke Candi-candi kecil di Jogja/Jateng yang sekedar mengisi daftar hadir. Gratis karena pada saat itu wilayah Palembang belum liburan dan tidak ada momen spesial seperti Cap Go Meh. Ahh asyiknya melihat dan mejeng di depan Klenteng
dan patung Emas besar
Juga patung-patung kecil penunggu klenteng
Sekali lagi anak saya bertanya “Kok klentengnya TIDAK DIBAKAR sama orang-orang sini? Padahal beda agama? Saya jawab “Itulah namanya toleransi…..” “Tapi…kenapa sesama Islam saling bakar Tuhh di Sampang….mesjid orang Syiah dibakar?” .............. Ternyata toleransi dengan sesama penganut kadangkala memang lebih sulit..... .......... poentjak goenoeng, 07-01-2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H