Alkisah...di sebuah sekolah saat pelajaran Bahasa Indonesia
Guru:
“Anak-anak.......tolong buat sebuah cerita esei sebanyak minimal 2 halaman folio”
Siswa:
Maaf bu.......kami siap melaksanakan tugas ini. Tapi.....bisakah ibu menunjukkan karya esei yang pernah ibu buat agar kami bisa jadikan pedoman?”
Dan Ibu guru itu pun terdiam......Beliau pantas terdiam karena selama ini beliau hanya memperkaya diri dengan ribuan teori tulis menulis bukan dengan menghasilkan karya, bahkan sebiji pun.
Menulis sepertinya menjadi momok menakutkan bagi sejumlah (baca: tidak semua) guru. Mengapa momok? Karena selama ini mereka terlena. Terlena dengan pangkat yang begitu mudah dicapai. Apalagi saat itu naik pangkat menggunakan angka kredit. Dengan modal puluhan sertifikat (meski Cuma sebagai peserta dan bahkan ada yang Cuma beli) hingga tugas mendidik dan mengajar pun jadi terbengkalai, para guru ini melenggang tiap 2 tahun sekali dengan pangkatnya. Dan, anehnya tak satu pun poin itu dari MENULIS !!!
Saat diminta menulis, maka ribuan dalih akan terucap:
Ngapain nulis, wong bentar lagi juga pensiun
Ngapain nulis, pangkat sudah mentok IV/a
Ngapain nulis, emang dibayar berapa? Tanpa nulis, sertifikasi udah dapet