Semestinya partai politik berfungsi sebagai wahana pendidikan politik bagi masyarakat agar tercapai pola pikir yang sadar akan hak dan kewajibannya. Namun apa jadinya jika partai politik beserta para pengurusnya justru mempertontonkan politik transaksional. Demokrasi dijadikan tangga untuk mencapai kekuasaan yang pada akhirnya individu dan kelompok mereka yang menikmati alam kebebasan ini.
Bagi-bagi uang, sembako, proyek ditambah janji-janji tak realitistis terbukti mampu me-ninabobokan masyarakat kita. Inilah adalah dosa besar yang diwariskan Partai Politik yang sangat berakibat fatal bagi generasi mendatang Indonesia.
Babak baru permainan politik pragmatis baru saja dipertontonkan, adegan demi adegan, babak demi babak, sandiwara itu terus diputarkan di pelupuk mata rakyat Indonesia. Politisi dengan lihainya mengucapkan kata-kata, kalimat demi kalimat bak syair dan nash yang tak terbantahkan. Seolah-olah apa yang mereka perbuat, apa yang mereka katakan adalah sebuah kemestian dan nampak seperti benar adanya.
Pertarungan elit politik telah menjadi tontontan lumrah, hampir tiap stasiun TV menayangkannya, bahkan kadangkala ironi tersebut juga dimuat oleh segmen infotainment. Memang sungguh berat membedakan segmen infotainment dan politik dewasa ini, apalagi Partai politik ada kecenderungan mengakomodir selebriti pada jabatan tinggi dengan tujuan menarik simpatik massa awam.
Sekali-kali pada isu-isu tertentu, politisi saling berdebat, menyerang politisi lainnya dengan seribu satu argument. Politisi lainnya mempertahankan diri dan tak mau kalah dari rival politiknya menggunakan segala macam kemampuan retorika yang ia miliki.
Anehnya, dikesempatan lain, argumentasi yang dipertahankan tersebut dapat dipelintir dengan memperhalus penggunaan bahasa atau istilah yang digunakan. Kompromi selalu menjadi hal yang biasa jikalau kepentingan politik sudah dapat disatukan. Sandiwara mereka telah berakhir dengan sedikit saja persinggungan kepentingan yang tersedia.
Politisi berkata, ini adalah win-win solution yang cerdas, yang dapat mengakomodir semua kepentingan rakyat. Pada saat itu semestinya kita patut bertanya ; kepentingan mana sebenarnya yang terakomodir, apakah rakyat atau partai ?
Tahun 2013, mungkin adalah tahun yang sial bagi pelaku dunia politik praktis. Sejumlah pengurus teras Parpol tersandung kasus korupsi. Namun walaupun begitu, tetap saja ada orang yang menangisi penangkapan dan pengunduran diri politisi-politisi tersebut. Kesedihan yang tak berdasar tersebut kemungkinannya didorong oleh sikap fanatisme berlebihan ataukah buta hati pada kondisi realitas yang ada.
Jika kita berhitung secara matematis, janji pada saat kampanye dan realitas dilapangan pasca pemilihan (Caleg, Pilkada, Pilgub maupun Pilpres) dipastikan tidak akan terealisasi secara keseluruhan. Namun anehnya lagi, ketika pemilihan berikut digelar lagi tetap saja politisi tersebut mendulang suara yang signifikan. Apa ini karena popularitas yang semu atau karena money politik. Atau mungkin dua-duanya benar.
Masyarakat kita tak pernah peduli lagi sebagus mana program dan track record calon yang ia akan pilih. Yang jelas ia mampu memberi selembar, dua lembar uang ratusan ribu kepada pemilih, maka kemungkinan dialah yang akan terpilih.
Jika berkaca pada kondisi yang ada maka teori karya para pemikir Frankfurt School yang mengungkapkan bahwa dunia politik adalah panggung transaksional antara kepentingan ekonomi (bisnis) dan politik (kekuasaan), tujuan dari kesuksesan politik adalah mampu meraih kekuasaan dan mampu meraup pundi-pundi ekonomi yang dapat menyejahterakan para politikus dan kelompoknya. Teori ini sesungguhnya masih sangat relevan dengan kondisi kebangsaan kita akhir-akhir ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H