Lihat ke Halaman Asli

Abdul Rahim

pengajar di Fakultas Ushuluddindan Studi Agama UIN Mataram, Pegiat Rumah Belajar dan Taman Baca Kompak, Lombok Timur

Puasa dan Keadaban Sosial

Diperbarui: 19 Mei 2020   17:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber foto : sharehappines.org

Terlihat sekali mata-mata yang sayu karena sepinya pembeli di antara pedagang pinggir jalan sore itu. Puasa ramadhan kali ini seolah hening menyelimuti. 

Para penunggu uluran tangan di pinggir jalan mungkin sudah kehilangan harapan karena belum ada satupun yang berhenti sekedar membagikan takjil untuk berbuka ataupun nasi bungkus. 

Semua terlihat muram, dan secara tak sengaja mataku menangkap sosok tua di depan gerobaknya sambil terkantuk menunggu pembeli. Sudah jauh terlewat, tetapi niat untuk mendekati sosok tua itu memaksaku berbalik arah.

Di atas gerobaknya berjejer buah sawo yang sudah matang. Kantuknya seolah hilang berganti gembira ketika ada yang berhenti di depan dagangannya. 

Sembari tangannya langsung meraih kantong plastik hitam dan mulai memilah buah-buah yang agak besar dan matang bersiap untuk disodorkan ke pembeli. Tetapi tentunya sebelum mengambil itu saya menanyakan dulu harga perkilonya. Beliau menyebut angka Dua puluh ribuan. 

Tetapi saya yang sudah kadung terbiasa membeli dengan harga Lima belas ribu mencoba menawar seharga itu. Beliau tetap mencoba menawarkan dengan harga tengah, diturunkan menjadi Delapan belas ribu.

Saya menawar untuk mengambil dua kilo dengan harga lima belas ribu perkilonya. Beliau tetap mengatakan tidak sesuai modalnya, sembari tangan keriputnya tetap memasukkan sawo yang dipilih ke kantong plastik di atas timbangan. 

Saya pun tetap menawar dengan harga awal, karena khawatir tidak cukup uang yang terbawa untuk membeli kebutuhan lainnya seperti yang sudah diniatkan untuk dibeli di awal.

Beliau menurunkan lagi dua kilonya itu, dipatok Tiga puluh lima ribu. Beliau mengatakan Lima ribu itu saja yang menjadi keuntungannya. Entah apa yang membuatku tak bergeming, dalih bahwa di penjual buah di depan, biasa juga menjual seharga Lima belas ribu, lalu bersiap pamit kalau tidak diberikan seharga itu.

Ternyata beliau mengalah dan memberikanku dengan harga itu. Raut yang tadinya ceria kembali sirna seperti awal pertama terlihat tadi. Ketika kusodorkan kertas Seratus ribu beliau berucap seolah menyindirku dengan banyak sekali uangnya. Saya berdalih, nanti tidak cukup untuk membeli kebutuhan lainnya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline