Lihat ke Halaman Asli

Abdul Rahim

pengajar di Fakultas Ushuluddindan Studi Agama UIN Mataram, Pegiat Rumah Belajar dan Taman Baca Kompak, Lombok Timur

Pengemis Suara dalam Demokrasi Struktural

Diperbarui: 9 Mei 2019   11:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber foto : merahputih.com


(note : Tulisan ini rampung 3 bulan sebelum Pemilu 2019)
Menjelang pemilihan umum 5 tahunan, para caleg mulai bergentayangan berusaha mendulang suara dengan mendatangi Dapil (Daerah Pemilihan) yang akan memilih mereka untuk menuju kursi legislatif. 

Sejauh ini para caleg masih terkesan seolah mengadu nasib dengan pencalonan mereka dan berkampanye dengan modal yang tidak sedikit yang harus dikeluarkan lebih dulu. Ketika mereka terpilih pun upaya untuk megembalikan modal kampanye sudah menjadi hal lumrah. Beban moral kepada masyarakat pemilih atas janji-janji mereka tak jarang menjadi pemanis yang mereka abaikan.

Upaya-upaya mereka mendatangi para pemilih di daerah pilihan yang dibalut dengan nuansa silaturahmi syarat kepentingan. Kepentingan utama mereka meraih kursi, sementara substansi dari kekuasaan sebagai wakil rakyat tak mendapat ruang untuk benar-benar menjalankan kepentingan rakyat. 

Rakyat yang sudah didatangi pada saat kampanye dan memuluskan mereka menuju kursi kekuasaan tak lebih hanya konsep pengemis yang berbalik arah. 

Ketika kampanye mereka mengemis untuk dipilih, ketika mereka berkuasa, maka rakyat yang mengemis agar upaya-upaya untuk kesejahteraan mereka dapat diperhatikan oleh mereka yang telah dipilih.

Jika saja benar retorika mereka mencalonkan diri menjadi wakil rakyat untuk kesejahteraan rakyat, maka mereka hanya mengandalkan uang negara untuk menjalankan itu. 

Sekiranya mereka benar-benar secara substansial berkeinginan untuk kesejahteraan rakyat, maka dengan dana kampanye mereka yang tidak sedikit itu pun banyak hal yang dapat mereka berikan untuk kesejahteraan rakyat tanpa menunggu dari uang Negara. Pun jika jalan mereka mulus menuju kursi kekuasaan.

Tak heran demokrasi yang dijalankan negara saat ini hanyalah demokrasi prosedural yang menjadi upaya-upaya para pemodal untuk meraih kekuasaan. 

Sementara secara substasial nama wakil rakyat hanyalah mewakili sebagian kostituen yang memilih mereka sehingga mendapatkan kekuasaan. Itu pun hanya beberapa kali saja mereka memperhatikan konstituen, di awal menjabat, dan yang terakhir ketika akan mencalonkan diri lagi.

Jika mereka yang menyebut diri para wakil rakyat hanya mengandalkan dana aspirasi untuk berbuat demi rakyat, maka benar-benar mereka tidak mewakili apa-apa, karena uang negara yang bersumber dari rakyat pun sudah menjadi kewajiban negara memberikan haknya kepada rakyat. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline