Lihat ke Halaman Asli

Abdul Rahim

pengajar di Fakultas Ushuluddindan Studi Agama UIN Mataram, Pegiat Rumah Belajar dan Taman Baca Kompak, Lombok Timur

Runtuhnya Kezuhudan dalam Beragama

Diperbarui: 28 Juli 2018   22:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Poster Kajian Berbayar Hanan Attaki di Narmada Convention Hall, Lombok

*Abdul Rahim

Ahmad Syafii Marif dalam suatu kuliah umumnya di Universitas Muhammadiyah Surakarta pernah mengatakan selalu gelisah secara intelektual dan gelisah secara spiritual karena idealisme Islam, idelisme quran dari masyarakat muslim sebagai komunitas yang bermoral dan adil, dalam praktiknya justru banyak yang tidak peka dengan ketimpangan-ketimpangan sosial yang terjadi.

Lebih jauh kejumudan dalam masyarakat Islam justru semakin merebak menjadi hal biasa yang hanya menerima pendapat satu kelompok mereka yang secara emosional sama-sama mendukung apa yang menjadi ideologi mereka, meskipun banyak kekeliruan di dalamnya.

Salah satu hal penting yang diajarkan dalam Islam terkait kehidupan yaitu konsep zuhud atau juga dikenal dengan Asketisme. Zuhud bukan berarti meninggalkan hal-hal duniawi sepenuhnya lalu sepenuhnya hanya memikirkan akhirat yang menjadi tujuan.

Bahkan zuhud itu bukan berarti lekat dengan kemiskinan, akan tetapi bagaimana menyeimbangkan antara dunia dan akhirat itu dalam konsep wasatiyah/auwsaatuha (jalan tengah) yang sedang digaungkan saat ini menjadi berterima dengan konteks Al Qur'an yang menyebutkan umat muslim sebagai "Khairaummah", atau ummatanwasatan, yang mewujudkan keadilan, kebenaran, kepedulian dapat terlaksana.

Akan tetapi nampaknya kezuhudan dalam masyarakat muslim, bahkan elit Islam sendiri sudah mulai memudar dan tidak lagi menjadi perhatian. Tak jarang elit-elit Islam sendiri saat ini berusaha menumpuk akumulasi kapital-kapital yang dalam konsep Bourdieu (1980) disebut distingsi (Distinction) sebagai jalan untuk mendapatkan otoritas atau kuasa dalam masyarakat muslim.

Setelah akumulasi kapital itu terpenuhi, secara hierarkis mereka pun mendapatkan popularitas, sementara ketimpangan-ketimpangan sosial dalam masyarakat tidak lagi menjadi hal vital untuk disuarakan melalui kapital ataupun kuasa pada mereka yang seharusnya melahirkan kepedulian.

Contoh sederhananya, dalam masyarakat muslim Sasak di Lombok yang terkenal dengan Pulau Seribu masjid-nya, sejak beberapa tahun terakhir sedang diterpa gelombang modernisasi dengan gaung pariwisata yang terus dipacu untuk menggenjot kunjungan wisatawan ke Lombok.

Dampak modernisasi dalam kehidupan masyarakat muslim sendiri mulai marak juga dengan kajian-kajian keagamaan berbayar yang biasa diadakan muslim kelas menengah dengan diadakan di ballroom hotel, atau di ruang utama mall, bahkan yang terakhir ini dengan menyewa gedung yang biasa digunakan untuk pesta pernikahan.

Kajian keagamaan berbayar pertama yang saya amati di Lombok yaitu pada 2017 ketika Felix Siauw mengisi acara di salah satu gedung milik pemerintah daerah dengan panitianya atau EventOrganizer (EO) mematok tiket sebesar 35K untuk pelajar/mahasiswa dan 45K untuk umum. Teryata 'jualan' kajian seperti itu pun laku keras dihadiri, yang saya ketahui dengan ramainya postingan di media sosial facebook, instagram kawan-kawan saya dengan tagline komunitas hijrah-nya.

Bukan sekali itu saja Felix Siauw dan EO megadakan kajian berbayar seperti itu, bahkan sempat juga mengadakan di ballroom Fave hotel, dan di Lombok Epicentrum Mall yang ada di Mataram. Artinya, ketika hal-hal yang bertujuan akhirat dalam konteks zuhud di atas justru masih lekat sekali dengan duniawi yang bisa saja dikatakan untuk mengejar profit dari EO itu sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline