Lihat ke Halaman Asli

Pendekatan Ideologis Memilih Asuransi Syariah

Diperbarui: 18 Juni 2015   00:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Neraka itu diselubungi dengan kesenangan (syahwat), sedangkan surga diselubungi dengan kesulitan-kesulitan.” (H.R. Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)

Hadits di atas kiranya pas menggambarkan kisah pencarian saya untuk menemukan asuransi syariah setahun terakhir ini.

Bergabung dengan sebuah perusahaan di bidang IT pada pertengahan tahun 2013 lalu memberikan saya dan keluarga kesempatan untuk mendapatkan jaminan asuransi kesehatan. Sayangnya, paket asuransi kesehatan yang disediakan perusahaan masih menggunakan jasa asuransi konvensional –sesuatu yang sudah saya tinggalkan sejak mengetahui hukumnya dalam pandangan syariat. Syukurlah, perusahaan memberi saya keleluasaan untuk mencari alternatif lain dengan syarat tidak melebihi budget yang diberikan perusahaan.

Maka demikianlah, siang itu saya mendatangi sebuah kantor cabang asuransi syariah terkemuka di Indonesia di bilangan Jemursari, Surabaya, tak jauh dari rumah saya. Setelah menyampaikan maksud kedatangan saya, petugas asuransi di front-desk itu menjawab, “Wah, maaf, Pak. Kalau asuransi kesehatan pribadi kita belum ada programnya. Yang kita sediakan baru yang sifatnya korporat. Itu pun baru bisa kita terima jika ada minimal 25 keluarga yang menjadi peserta.”

Saya manggut-manggut mendengar penjelasannya. Boro-boro 25 keluarga, ini hanya ada 2 keluarga yang berminat: saya dan seorang teman lagi yang baru bergabung di perusahaan.

***

Keluar dari kantor asuransi syariah itu, saya tak putus semangat. Masak asuransi syariah tak bisa menampung keinginan kelompok masyarakat yang ingin memanfaatkan asuransi syariah agar terhindar dari sistem konvensional?

Saya pun menghubungi petugas asuransi tempat perusahaan saya mendaftarkan asuransi kesehatan karyawannya. Saya sangat bersyukur ketika agen asuransi itu menyampaikan bahwa perusahaan asuransinya juga menyediakan asuransi kesehatan berbasis syariah.

“Kalau mau yang syariah, kita belum ada yang grup, Pak. Jadi beli preminya atas nama perorangan. Mungkin bisa disubsidi oleh perusahaan Bapak,” jelas agen asuransi itu, sembari menjanjikan untuk segera mengirim proposal penawaran produk asuransi syariah dimaksud.

Saya pun antusias menunggu proposal itu sembari membayangkan bahwa akhirnya saya bisa mendaftarkan asuransi kesehatan keluarga saya pada asuransi syariah.

Dua hari kemudian, proposal itu pun saya terima melalui surel. Tetapi antusiasme saya langsung pupus seperti bunga mekar yang terpanggang api di siang terik. Pasalnya, program utama asuransi syariah yang ditawarkan justru berupa investasi jaminan hari tua dengan “tambahan” jaminan asuransi kesehatan. Bayangkan, Tabarru’-nya saja (bagian yang kita niatkan untuk didonasikan) PER BULAN lebih kurang TIGA KALI LIPAT dari budget perusahaan PER TAHUN. Itu berarti, 1 banding 36 per tahun. Satu bagian (Rp 500.000,-) dibayar perusahaan sesuai budget, sementara 35 bagian sisanya (Rp 17.500.000,-) harus saya bayar sendiri.

“Bu, tabarru’ sebesar itu dibayar per bulan, ya?” tanya saya pada agen asuransi itu penasaran.

“Ya, pak. Tapi kalau dalam tahun berjalan tidak ada klaim, maka Bapak berhak menerima surplus tabarru’ yang akan dibayarkan,” jawabnya enteng. “Atau kalau Bapak berkenan menambah tabungan hari tua, premi bisa dinaikkan, Pak.”

Hadeww! Saya kan sedang mencari asuransi kesehatan syariah? Kok yang ditawarkan tabungan hari tua, sih Bu? Batin saya dalam hati.

“Baik, saya pelajari dulu, ya?” jawab saya, tepatnya ingin segera mengelak dari diskusi yang berkepanjangan.

Sejak detik itu lupalah saya akan asuransi syariah untuk jaminan kesehatan saya dan keluarga.

Beberapa hari kemudian, si Ibu agen asuransi itu menghubungi saya dan bertanya, “Bagaimana asuransi kesehatannya, Pak?”

Saya hanya menjawab dengan singkat, “Nggak jadi, Bu!”

Premi sebesar itu tentu cukup berat, bahkan sangat berat, untuk ukuran kantong karyawan swasta seperti saya.

***

Berkaca pada pengalaman itu, dan juga pengalaman beberapa orang yang hampir sama, saya mengerucut pada satu kesimpulan yang mungkin salah, tetapi bisa jadi benar: bahwa asuransi syariah itu jauh lebih mahal dari asuransi konvensional. Pengalaman demikian agak mengkhawatirkan jika kemudian sampai pada kesimpulan yang kurang berdasar tetapi menjadi salah kaprah di masyarakat, Asuransi syariah kok jauh lebih mahal?”

Ternyata kesimpulan itu diamini oleh kalangan asuransi syariah sendiri. Pada konferensi mikrotakaful 24 April 2014 lalu di Jakarta misalnya, Zainal Abidin Mohd Kassim dari Actuarial Partners Consulting Malaysia dalam makalahnya menyampaikan bahwa sebenarnya masyarakat mengharapkan takaful atau asuransi syariah itu lebih ‘murah’ dibandingkan asuransi konvensional karena dasarnya tabarru’ alias saling membantu donasi/hibah antar peserta. Bukan jual beli seperti pada asuransi konvensional. Tetapi kenyataannya, asuransi syariah justru lebih mahal daripada konvensional.

Premi yang dibayarkan nasabah, tulis Zainal dalam makalahnya, biasanya diperuntukkan untuk 3 hal: biaya risiko (risk cost), tabungan (saving), dan biaya lain untuk operasional perusahaan asuransi. Khusus biaya risiko untuk cadangan proteksi jika ada klaim dari nasabah, biasanya berlaku kaidah “jumlah yang harus dibayarkan untuk klaim selalu lebih besar dari premi yang diterima”. Pada asuransi syariah dengan jumlah peserta yang masih sedikit seperti saat ini, maka cadangan untuk biaya risiko ini menjadi sangat besar. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab premi asuransi syariah, khususnya komponen tabarru’ atau donasi yang tidak kembali kepada nasabah, biasanya lebih mahal dibandingkan konvensional. Belum lagi dari sisi biaya lain untuk operasional, yang biasanya tidak berhubungan langsung dengan besar premi, sehingga semakin kecil premi yang dibayarkan semakin besar proporsi premi yang hilang untuk keperluan tersebut. Ini juga menjadi penyebab premi asuransi syariah menjadi sedemikian hingga terasa mahal bagi nasabah.

Saya kira ini sebuah tantangan besar untuk asuransi syariah agar bisa berkembang dan diterima di kalangan nasabah, khususnya di Indonesia. Apalagi sebagai penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia merupakan pasar asuransi syariah yang sangat menjanjikan. Tinggal bagaimana caranya agar kesan mahal itu bisa dieliminasi atau di-tandem dengan aspek lain sehingga tidak lagi menjadi masalah bagi nasabah.

***

Ada yang menarik dari apa yang disampaikan oleh Prof. Dr. H. Fathurrahman Djamil, M.A., Ketua Dewan Pengawas Syariah (DPS) Sun Life Financial Indonesia pada acara “Kompasiana Nangkring Bareng Sun Life”, 30 Agustus 2014 yang lalu di Jakarta. Dalam makalahnya, beliau menyampaikan bahwa tujuan hakiki kehidupan ini tidak lain adalah agar kita bisa memperoleh kebahagiaan hidup tidak saja di dunia, melainkan juga di akhirat kelak. Di dalam ajaran Islam, jalan untuk mencapai itu bisa ditempuh melalui syariah, di mana telah diatur di dalamnya mana yang boleh dan tidak, mana yang wajib, sunnah, atau mubah (boleh) dikerjakan. Demikian pula mana yang makruh bahkan haram untuk dilakukan. Hanya dengan patuh dan taat pada aturan syariah itulah kebahagiaan sempurna itu bisa didapatkan.

Oleh karena itu, segala tindakan dan keputusan kita dalam hal apapun harus terikat dengan syariah sebagaimana kaidah al-ashlu fil af’al at-taqayyud biahkamisy syar’iyyah. Hukum-hukum syara’ atau syariah itulah yang kemudian melahirkan fiqih, yakni kumpulan hukum dalam agama Islam yang mengatur masalah ibadah maupun muamalah umat Islam. Dalam hal ibadah yang mengatur hubungan manusia dengan Allah Subhanahu wata’ala berlaku kaidah: semua ibadah tidak boleh dikerjakan kecuali telah ada ketentuannya dalam syariah. Tetapi dalam hal muamalah yang mengatur hubungan antara sesama manusia, maka berlaku kaidah: semuanya boleh dilakukan kecuali ada larangannya di dalam syariah. Termasuk dalam lingkup muamalah ini adalah soal asuransi syariah.

Itulah mengapa asuransi konvensional terlarang dalam agama Islam, karena dasarnya merupakan transaksi jual beli risiko. Dalam hal jual beli, Islam menggariskan agar kualitas, kuantitas, harga, dan waktu penyerahan atas obyek jual beli itu harus pasti atau jelas. Sementara pada asuransi konvensional, penanggung (perusahaan asuransi) tidak bisa memastikan berapa premi yang akan diterimanya dari tertanggung (peserta asuransi) sampai selesai kontrak (misalnya karena tertanggung meninggal dunia) dan kapan harus membayar klaim. Dari sisi tertanggung, ia tidak mengetahui kapan dan berapa banyak akan menerima manfaat klaim dari asuransi. Ketidakpastian itu masuk kategori transaksi yang gharar sifatnya, dan itu terlarang dalam Islam. Gharar menurut bahasa bermakna al-khathr (pertaruhan) yang tidak jelas hasilnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli gharar dan jual beli dengan lemparan batu (H.R. Ibnu Majah)

Asuransi konvensional juga mengandung unsur maysir atau perjudian yang membuat salah satu pihak dirugikan. Tertanggung akan mengalami kerugian jika sampai dengan akhir periode pertanggungan tidak mengajukan klaim. Uangnya hilang. Sedangkan penanggung diuntungkan dalam situasi tersebut karena mereka tidak perlu membayar klaim sepeser pun. Demikian juga berlaku sebaliknya. Sementara maysir terlarang dalam agama Islam.

Di samping itu, instrumen investasi asuransi konvensional biasanya berbasis bunga seperti deposito, obligasi, dan pinjaman berbasis bunga lainnya. Padahal, para ulama sepakat bahwa bunga itu termasuk kategori riba, dan riba terlarang dalam Islam. Dalam Q.S. al-Baqarah: 275 Allah berfirman: “...Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”

Dengan begitu banyaknya larangan syariah yang dilanggar dalam asuransi konvensional, maka ia diharamkan bagi umat Islam untuk diikuti programnya. Nah, asuransi syariah mengeliminasi seluruh aspek tersebut sehingga sesuai dan sejalan dengan prinsip syariah.

Dari sisi bahasan ini, sebagai seorang muslim sebenarnya (atau seharusnya) alasan utama memilih asuransi syariah tidak lain dan tidak bukan hanyalah karena ia halal menurut syariah. Persyaratan halal sesuai syariah ini menjadi pertimbangan utama yang harusnya mengalahkan pertimbangan-pertimbangan yang lain. Ekstrimnya: kita memilih yang mana antara “murah tapi haram” dengan “mahal tapi halal”? Sama kiranya seperti kita memilih daging sapi yang halal daripada daging babi yang jelas haram. Apakah kita melihat harganya? Saya yakin tidak. Kita melakukannya semata-mata karena tunduk pada aturan syariah.

Berkaca dari sini, maka pertimbangan memilih asuransi syariah seharusnya bisa digerakkan ke arah pilihan berdasarkan pertimbangan ideologis, bukan sekadar untung rugi (bisnis). Sesuai syariah Yes, non-syariah No. Senyampang peserta asuransi syariah masih sedikit, memang konsekuensinya premi tabarru’ yang harus dibayar masih relatif besar (baca: mahal). Tetapi seiring berkembangnya nasabah asuransi syariah seharusnya nilai tabarru’ itu (dengan perhitungan aktuaria) akan bisa semakin murah suatu saat.

Di samping itu, memang perlu ijtihad dari para ulama yang terus-menerus sehingga mampu menghasilkan konsep asuransi syariah yang juga lebih mudah diterima oleh para nasabah, misalnya dari sisi pembayaran premi yang terjangkau dan bersaing dengan asuransi konvensional. Beberapa konsep akad sudah dihasilkan seperti berbasis wakala, mudharabah, memanfaatkan retakaful ke asuransi syariah yang lain, men-simplifikasi jenis klaim, mengurangi biaya operasional, dan sebagainya, yang tujuannya agar pembayaran premi bisa disesuaikan dengan kemampuan masyarakat.

Walhasil, perjuangan asuransi syariah agar dapat eksis dan diterima masyarakat merupakan upaya jihad semua pihak. Tidak saja para operator dan regulator, tetapi juga masyarakat muslim selaku calon nasabah, yang dengan rela membayar “sedikit lebih mahal” dan mengedepankan aspek ideologis dengan “memilih yang sesuai syariah” untuk mengikuti asuransi syariah sebagai bentuk jihad mereka. Memilih yang sesuai syariah untuk mencapai kebahagiaan hakiki di dunia dan akhirat, menggapai surga-Nya.

Sebagaimana saya sampaikan dalam pembuka tulisan ini, bahwa surga itu memang diselubungi dengan kesulitan-kesulitan. Tetapi demikianlah perjuangan, tak ada yang gampang. Mutiara tidak akan kita temui kecuali terjun mencarinya di laut yang dalam. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri pernah bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya barang dagangan Allah itu mahal. Ketahuilah, sesungguhnya barang dagangan Allah itu adalah surga.” (H.R. at-Tirmidzi)

Kelihatannya saya perlu mempertimbangkan kembali untuk menelepon si Ibu agen asuransi itu dan berkata padanya, “Baik, Bu. Catat saya sebagai nasabah Anda, tapi dengan satu syarat: beri waktu saya untuk mengajak 24 teman saya lainnya. Setuju?”

Wallahu a’lam.

[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline