Tulisan ini adalah tanggapan dari tulisan dari mbak Niken Satyawati yang mengambil sumber yang tidak valid. Saya akan mengungkapkan satu persatu ketidak validan sumber tulisan tersebut yang apabila dalam kacamata agama yang saya anut hal tersebut dapat menimbulkan fitnah dan stigmatisasi terhadap pengajian yang diadakan di sekolah.
Dalam tulisan mbak Niken Satyawati terhormat dikatakan bahwa, dia mengambil informasi dari dunia maya dan mengambil informasi dari seseorang bernama mbak Aristyani. Perlu saya sampaikan bahwa memang mbak Aristyani ini adalah salah satu tetangga saya. Saya pun mengenalnya dengan baik, saya dekat pula dengan adiknya yang bernama Saptono sejak remaja. Yang merupakan teman bermain dan teman sekampung saya dahul. Namun ada hal-hal yang setidaknya perlu saya luruskan terkait mbak Aristyani tersebut.
Pertama, mbak Aristyani di masjid Al-Amanah yang didirikan kakek saya bersama warga kampung RW 01 kelurahan Sangkrah tersebut sebenarnya tidak menjabat sebagai ketua. Saat itu yang menjadi ketua Remaja Masjid adalah seorang kawan bernama Muhadi (Muhammad Adi). Sedangkan mbak Arisytani yang saat itu juga menjabat sebagai salah satu ketua bidang Nasiyatul Aisyah bukanlah ketua remaja masjid yang ada saat itu. Dan nasiyatul Aisyah juga bukan merupakan organisasi yang ada di kestruktural masjid yang menjadi milik umat tersebut. Bagi kami tidak ada bedanya antara Muhammadiyah dan Nahdhatul Oelama. Memang ada alasan khusus ketika saya dan ketua Remaja Masjid Muhadi berbeda jalan. Bagi seluruh warga RW 01 Kelurahan Sangkrah mengetahui dengan pasti dan pasti menyetujui perbedaan saya dengan Muhadi tersebut.
Kedua, mbak Aristyani mengaku telah menasehati dan demikian dengan seluruh keluarga saya yang ikut menasihati saya. Saya kira hal tersebut hanya klaim semata. Mengingat justru saya dididik dan tinggal (mulazamah) dengan kakek sejak hari pertama saya mengaji dan menimba ilmu kepada beliau KH. Ruhani Abdul Hakim. Saya kira semua masyarakat kampung RW 01 (yang generasi tua tentunya) mengetahui bagaimana didikan beliau tersebut. Ada beberapa ustadz-ustadz yang secara khusus ditunjuk beliau (kakek saya) saat beliau masih hidup, bahkan saya masih mudzakarah (mengulang hafalan) Al Quran saya kepada salah satu ustadz berlatar belakang NU saat itu.
Memang pola pendidikan kakek (rahimahullah) tersebut mirip dengan pola didikan HOS Cokroaminoto yang merupakan guru beliau. Kakek tidak pernah sekalipun memerintahkan untuk menghindari sebuah ide maupun pemikiran yang ada.
Seburuk apapun ide tersebut bagi masyarakat. Ini nampak dari murid-murid Cokroaminoto yang terdiri dari kaum islamis (Kartosoewirjo), nasionalis (soekarno), hingga sosialis-komunis (semaun dan tan malaka). Demikian pula yang saya pelajari dari pemikiran-pemikiran HOS Cokroaminoto melalui kakek KH Ruhani Abdul Hakim tersebut.
Sejak dini, bahkan era sebelum reformasi diawal-awal saya mulazamah dengan kakek-pun beliau telah menyodori semua buku-buku dan pemikiran. Mulai dari pemikiran tokoh FIS Al Jazair (Syaikh Abu Bakar Jazairiy), pemikiran soekarno (dibawah bendera revolusi), hingga buku-buku kuno karangan ulama-ulama salaf terdahulu seperti Nailul authar (imam Syaukani), Al Bidayah wan Nihayah (ibn Katsir), hingga ahkamus sulthoniyyah yang menjadi pegangan teman-teman NU.
Sebelum meninggalnya beliau KH. Ruhani Abdul Hakim-pun beliau berpesan untuk 'mencari jalan' sendiri kebangkitan Islam yang selama ini kami kaji bersama tiap pagi dan sore hari. Pernah suatu kali, saya 'ngambek' kepada beliau karena beliau memerintahkan saya mentarjim (menterjemahkan) kitab Nailul Authar yang terdiri dari 7 jilid dari bahasa arab ke bahasa indonesia. Namun suatu ketika, salah seorang murid beliau yang salah satu tokoh pendidikan nasional mengunjungi beliau dan menghadiahi beliau dengan kitab Nailul Authar terjemahan bahasa Indonesia. Bila tokoh nasional tersebut -yang memberikan hadiah kitab tarjamah tersebut- membaca tulisan ini, saya haturkan beribu terima kasih atas kitab hadiah tersebut. Karena dengan kitab hadiah tersebut, saya berhasil menyelesaikan mulazamah kitab tersebut bersama beliau. Kitab lain yang penulis selesaikan bersama beliau adalah kitab Lu'lu wal Marjan dan beberapa kitab lainnya.
Ketiga, saya menganggap proses mulazamah dengan guru sekaligus kakek saya tersebut masih berlanjut hingga wafatnya beliau. Perlu diketahui bahwa kakek sangat toleran dalam menerima segala perbedaan pemikiran dan ide-ide. Hal ini nampak dari pengajaran yang diajarkan beliau saat Mulazamah tersebut. Dan ini nampak pula bahwa luasnya pergaulan beliau kepada alim-ulama, tokoh masyarakat, tokoh politik, dll. Beberapa gerakan memang sering 'memanfaatkan' murah hatinya beliau untuk dicantumkan dalam kestruktural organisasinya. Dan prinsip beliau adalah tidak mempermasalahkan hal tersebut sepanjang bermanfaat bagi kaum muslimin.
Ada cerita lucu dan haru dari Kakek KH. Ruhani Abdul saat pemilu 99 dimana pagar rumah beliau lengkap dengan bendera-bendera partai kontestan pemilu. Bahkan beliau ikut mebantu bila ada salah satu kader pemilu hendak memasang bendera di pagar rumah beliau. Meski secara ideologi hal tersebut bertentangan dengan prinsip beliau. Kenapa saya mengetahui hal tersebut? karena beliau berpesan "Meski mereka berbeda prinsipnya dengan kita, tetaplah kita dakwahi mereka".
Ada cerita menarik saat upacara pemakaman beliau. Sebut saja namanya Fulan, dia adalah tokoh preman di kampung sebelah. Preman ini cukup ditakuti oleh masyarakat. Ketika si Fulan datang ke pemakaman beliau, kontan beberapa orang menghalangi beliau untuk tidak masuk ke dalam rumah. Namun Fulan bersikeras datang untuk memberikan penghormatan terakhir kepada beliau. Bahkan Fulan ini menangis ketika melihat jenazah KH. Ruhani Abdul Hakim. Masyarakat saat itu terheran-heran dengan tingkah laku Preman tersebut. Usut punya usut, si Fulan ini memiliki kesan yang mendalam kepada beliau.