Lihat ke Halaman Asli

Jalan yang Tertunda

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Seseorang menghindari penyakit lari dari desanya yang terkena wabah. Sesampainya di hutan, ia

bertemu dengan harimau yang sedang lapar. Sang harimau kemudian mengejarnya. Tunggang langgang

perasaan takut dan terdesak membuat ia tak sadar menyusuri jejak semula, kembali ke rumahnya.

.

.

Keesokan harinya ia mencoba melarikan diri menyusuri sungai. Namun seketika sungai menjadi kering

tak berair. Ia pun ingin belajar terbang, “tapi mana ada burungyang mau mengajariku “ pikirnya.

.

.

Sampai akhirnya semua warga kampung meninggal satu persatu, ia pun yang menggali kuburannya satu

persatu. Tak ada sesiapa. Ia tak ingin mayat – mayat itu hidup dan memaksa kepadanya, lebih dari itu

karena ia sangat menyayangi dan menghormati mereka.

.

.

Seandainya ia tahu, bahwa setelah itu sang harimau sudah enyah dari hutan. Air pun mengalir deras di

sungai, begitu jernih berbayang burung – burung mengepakkan sayap - sayapnya, berkicauan

mengucapkan salam kepada pemuda yang selamat itu, “Sekarang, kau boleh pergi kemana engkau

suka”

.

.

.

Jika waktunya memang sudah harus terbakar, tak ada jalan selain harus merasakan panasnya

.

Salam,

Bahrum , 010210

Ilustrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline