Anak perempuan ini tak berhenti menggeser (scroll) layar di telepon cerdasnya. Sesekali ia mengamati gambar atau teks yang nampak di layar lebih seksama. Tapi tak lama, hanya 5 sampai 8 detik. Kali ini dia tersenyum dan kemudian melanjutkan menggeser ke layar berikut. Pada satu layar dia terbahak, di layar lain ia mengernyitkan dahi tanda penasaran, sejurus kemudian dia seperti hendak menangis karena bersedih.
Selama 30 menit ia memegang telepon cerdasnya, hampir semua ekspresi-ekspresi dasar manusia seperti; marah, gembira, jijik, takut, terkejut, dan sedih dapat hadir secara bergantian.
Ekspresi-ekspresi berganti secara cepat (rapid) terkadang tanpa transisi. Dari marah dapat segera berganti terkejut, segera berganti ke gembira dan berganti ke ekspresi-ekspresi lainnya. Pada momen tertentu ekspresinya lebih terartikulasi, berteriak senang atau mengeluh tanda tak suka dengan apa yang ia lihat, dengar atau baca.
Ketinggalan satu informasi akan membuat dia merasa "kudet" atau kurang update. Status kudet ini akan mudah menjadi bahan olok-olok teman sebayanya. "Katanya kamu penggemar si A, masa kamu gak tahu kalau dia kemarin makan Tahu Gejrot Cirebon?", "Penggemar kok tidak tahu kalau si A sekarang sudah buka gerai cilok di Zimbabwe?"
Olok-olok itu tentu bukan hal yang baik bagi remaja seusianya. Jadilah ia seorang yang terus menerus mengecek apa yang terjadi di sosial media untuk memastikan bahwa dia tak tertinggal dan tetap dalam semesta pembicaraan (on the loop).
Mereka, dan mungkin juga kita, kemudian menjadi satu generasi yang kemudian dikenal sebagai Constant Checkers, sebuah generasi yang terus menerus mengecek gawainya untuk mengetahui apa yang terjadi di sosial media.
Bagaimana Teori Psikologi Melihat Constant Checkers?
Menurut Hootsuite, sebuah situs analisis sosial media, rerata durasi penggunaan sosial media orang Indonesia adalah 3 jam dan 36 menit. Menurut situs ini pula, ada 160 juta orang Indonesia yang aktif menggunakan sosial media, memiliki rata-rata 10 akun berbagai platform sosial media. Anak muda ditengerai menghabiskan lebih banyak waktu di dunia maya dan terkoneksi lebih banyak dengan aplikasi sosial media.
Sebuah survey yang dilakukan oleh American Psychology Assosication (APA)[ii] menemukan bahwa Constant Checkers rentan terhadap kesehatan mental karena mereka merasa harus memeriksa email, percakapan dan akun sosial media mereka setiap saat. Tingkat stres mereka lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang lebih sedikit terhubung dengan sosial media.
Hubungan orang tua dengan anak remaja juga menjadi masalah tersendiri. Sebagian orang tua yang tidak terlalu terkoneksi pada sosial media kerap dan kesal mengetahui anaknya yang sulit melepaskan gawai dari genggamannya.
Ketika ditanya, "Kenapa sih harus ngecek handphone terus?". Anak remaja kerap meresepon dengan jawaban yang sederhana bahkan truistic, "Ya gak apa-apa, karena harus ngecek saja supaya tak ketinggalan informasi".