Lihat ke Halaman Asli

Bahran Andang

Pemerhati Budaya Inovasi dan Social Enterprise

Etnik Toraja di Pilgub Sulsel 2018

Diperbarui: 29 Maret 2017   20:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagi masyarakat Toraja, Pilgub Sulawesi Selatan Juni 2018 mendatang merupakan pertaruhan perhelatan demokrasi yang strategis. Etnik Toraja yang mendiami sebagian besar wilayah dataran tinggi di bagian tengah-utara Sulawesi Selatan secara geopolitik memiliki peran vital dan menjadi aspek penentu dan penyeimbang stabilitas politik kontemporer di Sulawesi Selatan selama ini. Karakteristik Etnik Toraja yang demokrasinya terkonsolidasi apik merupakan refleksi homogenitas dan ketaatan terhadap Aluk Todolo (hukum) atau Alukta, adalah aturan tata hidup berkenaan dengan sistem pemerintahan, sistem kemasyarakatan dan sistem kepercayaan.

Meskipun opportuniti menikmati estafet atau sharing kepemimpinan belum sepenuhnya bisa dinikmati, namun masyarakat Toraja tetaplah sebagai entitas etnik yang tak terlepas dari akar budayanya yang luhur dengan filosofi “Tau” yang mengharuskan setiap masyarakat toraja untuk menggapainya melalui empat cara, antara lain: (1) sugi' (kaya), (2) barani (berani), (3) manarang (pintar) dan (4) kinawa (mempunyai nilai-nilai luhur, agamis dan bijaksana). Pencapaian sebagai “manusia seutuhnya” bagi seorang Toraja adalah tatkala menggapai fraksis kehidupan sebagai “Tau.” Filosofi inilah yang senantiasa menjadi patron politik bagi Etnik Toraja dalam merintis “kepemimpinan.” Artinya, seorang pemimpin setidaknya harus memiliki ke-empat syarat tersebut. Namun, hidup sebagai “Tau” jauh lebih terhormat dan bermartabat ketimbang “kekuasaan di tangan” tapi mendatangkan aib bagi keluarga dan petaka bagi rakyat. Nilai-nilai inilah yang senantiasa dipegang teguh oleh Etnik Toraja untuk meredam timbulnya friksi politik berbasis primordialistik versus politik hegemoni dan kekuasaan yang tak terkendali, khususnya di Sulawesi Selatan.

Potensi Pemilih Etnik Toraja

Provinsi Sulawesi Selatan juga merupakan provinsi multi etnis. Dari beragam etnis yang ada di Sulawesi Selatan, terdapat dua etnis besar, yakni etnis Bugis (41.9%) dan etnis Makasar (25.43%). Etnis lain yang cukup menonjol adalah Toraja.[1] Selain terkonsentrasi di dua kabupaten, yakni Kabupaten Toraja dengan luas wilayah 2.054,30 km2, berpenduduk 279,442 jiwa dan Toraja Utara dengan luas wilayah 1.151,47 km2, berpenduduk 234,062 jiwa,[2]. Etnik Toraja juga tersebar di Kabupaten Luwu Timur, Luwu Utara,  Palopo, Luwu, Enrekang dan berbagai daerah di Sulawesi Selatan dengan perkiraan lebih dari 1 juta pemilih.

Sementara itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sulawesi Selatan telah merilis jumlah Daftar Pemilih Sementara (DPS) Pilgub Sulawesi Selatan 2018 sebanyak 6.871.154 pemilih. Jumlah itu masih bisa berubah saat KPU melakukan pemutakhiran.[3] Dengan demikian terdapat potensi kurang-lebih 15% dari 6.871.154 pemilih di Sulsel pada Pilgub 2018 mendatang berasal dari Etnik Toraja.

Dalam hal memilih pemimpin, karakteristik etnik Toraja sangat berbeda dengan etnik Bugis dan Makassar yang menguasai hampir 80% penduduk Sulawesi Selatan. Kedua etnik ini relatif cair.  Tarik-menarik kepentingan etnik keduanya cenderung tidak mengalami sekat primordialistik karena sejarah panjang kohesifitas dan akulturasi kedua etnik telah terjadi sedemikian lama. Etnik Toraja sangat solid dalam menjatuhkan preferensi yang disepakati. Secara sosiologis, determinasi pilihan etnik ini cenderung homogen dan fanatik.  Bahkan etnik Toraja yang berada di luar Pulau Sulawesi sekalipun memiliki satu garis “komando” yang sama dalam menyukseskan figurnya, tentu dengan pengorbanan sumberdaya yang dimilikinya.

Begitu stratgisnya potensi pemilih etnik Toraja di Pilgub Sulsel, sehingga seringkali muncul adagium politik, bahwa pasangan yang “direstuilah” yang akan unggul di Toraja  dan sekitarnya yang pada akhirnya merekalah yang akan memenangkan Pilgub Sulawesi Selatan. Bukan kebetulan, data empirik menunjukkan bahwa dua kali pemilihan gubernur di Sulawesi Selatan, yakni tahun 2008 dan 2013 yang dimenangkan oleh pasangan SYL-AAN adalah “penguasa” di Tanah Orang Riaja (orang yang mendiami dataran tinggi). Sungguh merupakan cerminan dari soliditas atas keteguhan terhadap nilai dan prinsip konsensus demokrasi.

Tokoh Toraja di Pusaran Pilgub Sulsel

Perubahan konstelasi politik dan fragmentasi munculnya figur yang dianggap memiliki kompetensi dan layak memimpin Provinsi Sulawesi Selatan melalui Pilkada serentak Juni 2018 mendatang, adalah fenomena yang lazim dan senantiasa hadir sebagai strategi para bakal calon dan partai politik dalam mengagregasi dukungan publik, pendidikan dan komunikasi politik dalam rangka penguatan konsolidasi demokrasi. Endingnya, bakal calon akan mengerucut seiring dengan besarnya antusiasme dan respon publik terhadap kapabilitas, akseptabilitas dan elektabilitas bakal calon. Yang tak kalah pentingnya adalah sejauh mana para bakal calon meraih dukungan parpol atau koalisi parpol sebagai prasyarat menjadi calon atau pasangan calon.

Yang menarik adalah siapa figur yang layak dan mumpuni mewakili kehendak dan aspirasi Etnik Toraja di pusaran Pilgub Sulsel? Di berbagai pertemuan terbatas komunitas/masyarakat Toraja, baik di Sulsel maupun di luar Sulsel telah dimunculkan beberapa figur yang dianggap kredibel dan merepresentasikan aspirasi Etnik Toraja, antara lain: Irjen Pol (Purn) Mathius Salempang (mantan Kapolda Sulselbar), Dr. Ir. Ophirtus Sumule, DEA (Birokrat/Direktur Sistem Inovasi - Kemenristekdikti),   Frederik Batong (politisi), Litha Brent (Anggota DPD RI), Prof. Dr Y. Rante, M.Si (Wakil Rektor Uncen Papua), Tarsis Kodrat (mantan Bupati Tana Toraja) dan beberapa nama lainnya.

Masyarakat Toraja menyadari bahwa peta kekuatan politik di Sulsel masih didominasi oleh dua etnik besar, yakni Bugis dan Makassar sehingga sangat realistis bila bakal calon yang diusung oleh etnik Toraja kelak akan mengisi posisi calon wakil gubernur. Namun tidaklah berlebihan, jika Pilgub Sulsel 2018 mendatang menjadi pertaruhan bagi Etnik Toraja, mengingat sejak 1960 hingga sekarang, Etnik Toraja belum pernah terwakili dalam konteks kepemimpinan Sulawesi Selatan. Di sisi lain, telah banyak orang Toraja yang berkiprah di level nasional dan internasional, baik sebagai politisi, pebisnis, akademisi, birokrat maupun seniman. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline