Ama ni Ogol ceria pagi ini. Setiap berpapasan dengan orang lain, ia akan menyapa. Setelah menyapa, sepanjang jalan ia bersiul. Seolah ingin mengeluarkan isi perutnya yang buncit. Dan setiap kali melewati cermin, ia menghadap, lalu memajukan pipi kanan-kiri secara bergantian. Terakhir, ia merapikan seragam cokelat-cokelatnya.
Sesampainya di kantor, ia pun bertingkah demikian. Bawahannya, yang selama ini diperlakukan seperti budak, mendadak dapat tepukan bangga darinya. Seisi kantor pun saling menatap. Di belakangnya, mereka berbisik-bisik mencari tau bintang seperti apa yang jatuh malam tadi hingga mengubah Ama ni Ogol. Setelah berdiskusi panjang, mereka sepakat untuk menculik sekretarisnya.
Selama ini Ama ni Ogol terkenal galak dan membingungkan. Setiap bertemu dengan orang lain, ia akan melompat seolah dikejutkan. Melangkah pun, ia selalu terburu-buru. Kepalanya tak pernah lurus ke depan barang semenit jika sedang berjalan. Ia menatap sekeliling, seolah ada yang mengintai. Hanya Newar, sekretarisnya, yang akrab dan setiap hari berbincang dengannya. Karena itu lah, para pegawai di kantor itu menculiknya.
"Kau harus mencari tau kenapa Ama ni Ogol begitu bahagia hari ini," kata salah seorang dari pegawai dengan nada mengancam.
Tanpa banyak tanya, Newar mengiyakan. Sebab, bila melawan, ia akan dihabisi karena Ama ni Ogol pensiun tahun ini.
"Pagi, Pak..."
"Pagi, Newar," balas Ama ni Ogol seraya tersenyum kepada sekretarisnya.
"Terlihat bahagia sekali pagi ini, Pak?"
"Oh ya? Biasa saja." Suara bariton mengisi seluruh ruangan.
"Kalau bisa bagi-bagi dong, Pak, resepnya."
"Oh... ha-ha-ha. Kamu ini bisa aja. Gak... gak ada kok resepnya. Tadi malam, saya akhirnya tau, akan masuk surga. Itu saja."