Barangkali tidak berlebihan jika para antropolog menyebut manusia sebagai homo festivus, yaitu makhluk yang gemar mengadakan festival. Sejak zaman purba sampai modern, agenda untuk mengadakan festival tidak pernah pudar, apalagi punah. Sebuah pesta budaya yang bersifat publik, yang bahkan sering dikoneksikan dengan ritus-ritus keagamaan. Lebih jauh lagi, acara ini biasanya dikaitkan dengan misi keagamaan, yaitu mengenang dan memelihara traditional wisdom, lalu diperkaya dengan elemen-elemen mutakhir. Festival semakin gegap gempita ketika dilakukan secara massif dan ekstravagan serta menjadi simbol harga diri sebuah bangsa dan agama. Maka judul di atas sepertinya sengaja dipilih oleh panitia Peringatan Maulid Nabi Muhammad saw., yang dibentuk oleh OSIS MAN Sidoarjo, tempat saya PPL yang akan berakhir tanggal 20 Maret nanti. Acara ini dilaksanakan atas dasar bahwa esensi tradisi maulid Nabi sejatinya harus terus-menerus dibumikan dan diinternalisasikan dalam realitas keseharian kita. Festival Maulid Nabi adalah event yang harus dimanfaatkan untuk "menghidupkan" idola lewat pembacaan kembali sejarah-sejarah beliau yang sarat hikmah dan keteladanan. "Kami sebagai panitia berharap bahwa peringatan maulid ini bisa menjadi penambah semangat dan kecintaan kita kepada Nabi Muhammad dan tidak sekedar seremonial belaka", kata Abdul Muis, ketua panitia, siswa yang masih duduk di kelas XI IPA-4 ini dalam sambutannya. Diawali dengan shalat Dhuha berjamaah, acara yang dihadiri oleh Ustadz. Rizqi Nafis ini berjalan khidmah dan meriah. Aura religiusitas tampak kental pada rona wajah mereka yang sumringah, terlebih dengan mendengarkan tausyiah sang Ustad yang humoris, serasa ada guyuran kesadaran yang tiba-tiba menyeruak ke dalam sanubari terdalam. "Yang namanya celana dalam harusnya kan selalu di dalam. Tapi gadis-gadis seksi saat ini sudah membiarkan celana dalamnya terlihat keluar. Kalau celana dalamnya mau di luar, ya tiru aja Bat Man. Celananya pakai duluan, baru 'sempak'nya dipasang", sentil sang Ustadz mengkritik degradasi moralitas remaja metropolis, yang langsung disambut gelegar tawa para siswa. Selain perayaan Maulid Nabi, acara ini juga diselingi dengan lomba kaligrafi dan tumpeng, sebagai ajang untuk menumbuhkan imajinasi dan kreatifitas siswa-siswi MAN Sidoarjo. Ada juga penampilan sholawat al-Banjari, dengan suara vokalisnya yang merdu mendayu-dayu. Lomba tumpeng tentunya menjadi acara yang paling ditunggu-tunggu oleh mereka, terlebih para siswa yang sengaja tidak makan, karena setelah penilaian selesai mereka akan membawa hasil tumpeng racikan para calon Ibu rumah tangga ini ke dalam kelas dan "memangsanya" bersama-sama. Ya, begitulah ritual tahunan yang menjadi salah satu agenda favorit siswa-siswi MAN Sidoarjo, lalu dimanfaatkan oleh pengurus OSIS terpilih untuk dimasukkan dalam agenda kerja selama kepengurusannya. # # # Sabtu, 27 Februari 2010. Jam masih menunjukkan 07.00 pagi. Tiang-tiang penyangga terop berdiri kokoh di halaman tengah MAN Sidoarjo. Siswa-siswi lalu lalang di sekitar area lapangan yang dialasi dengan tikar-tikar karpet yang diatur memanjang. Di pintu gerbang, pak satpam dan guru piket masih berdiri menyambut para siswa dan tamu undangan dengan wajah tersungging senyum. Hari itu sepertinya memang beda dengan hari-hari sebelumnya. Ada sederetan siswa-siswi yang memakai cocard bertuliskan panitia, dikalungkan di leher mereka. Ada sekelompok siswi yang menenteng tas plastik, sepertinya berisi bahan-bahan makanan, lauk-pauk dan pernak-pernik yang entah apa namanya. Dan berbagai kesibukan lain yang membuat saya merasa benar-benar berada di suasana yang "berbeda". Ya, begitulah perhelatan tradisi Maulid Nabi Muhammad diperingati oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, termasuk para siswa-siswi MAN Sidoarjo ini, terlepas dari perbedaan pendapat seputar boleh-tidaknya, sunnah-bid'ahnya perayaan Maulid Nabi ini. Yang jelas, di bulan rabi'ul Awwal ini banyak bentuk ritual perwujudan rasa cinta kepada Nabi dengan gemuruh lantuna solawat dan sadaqoh kolektif dirayakan secara massif dan inovatif. Di sebagian besar pelosok pulau Madura, utamanya Sampang dan Bangkalan, tradisi Maulid Nabi bahkan lebih meriah daripada lebaran. Tiap keluarga merasa "wajib" merayakannya, dengan mengundang para sanak famili dan tetangga dekat. Saya teringat bagaimana repotnya menghadiri undangan masyarakat dalam waktu bersamaan di tempat yang berbeda. Belum lagi ketika harus mewakili Pak Kiai ketika beliau berhalangan. Sungguh, benar-benar menyita tenaga dan pikiran. Kadang malah harus bergiliran dari rumah ke rumah, sampai tidak kuat lagi jika harus membawa "bingkisan" sendirian. Maka saya meminta salah seorang murid untuk membawakannya. Ah, tapi kegembiraan harus kita indahkan, kebahagiaan harus kita rayakan, meski kadang keterlaluan. Maka benar-benar suatu kebahagiaan ketika saya bisa menghadiri undangan masyarakat, meski hari benar-benar pagi. Bayangkan, jam 05 pagi sudah ada undangan! Dan tentunya ada acara makan-makan! Sungguh, perut saya kadang merasa bergeliat dan keheranan saat harus makan pagi-pagi. Ini tentu karena saya memang tidak terbiasa sarapan terlalu "dini". Bahkan salah seorang ustad pernah berseloroh, bahwa jika bulen molod (bulan maulid) datang, para kawanan Ayam merasa bahagia karena akan dipersembahkan bagi para undangan maulidan. Ah, logika yang menggelitik, seru saya waktu itu. Begitulah kira-kira gambaran utuh bagaimana sebuah tradisi maulid terus dilestarikan di desa Bapelle, Robatal, Sampang, tempat saya melaksanakan masa pengabdian menjadi Guru Tugas di PP. Hidayatut Thullab selama satu tahun. Ya, ditengah krisis keteladanan seperti saat ini, menghadirkan kembali sosok Rasulullah yang menempatkan akhlaqul karimah sebagai basis kehidupan menemukan relevansinya. Dengan demikian, tradisi Maulid Nabi yang dalam dunia kita terus diperingati setiap tanggal kelahiran beliau bukan lagi sebuah kesemarakan seremonial, tapi sebuah momen spiritual untuk mentahbiskan beliau sebagai figur tunggal yang mengisi pikiran, hati dan pandangan hidup kita. Dalam maulid kita tidak sedang merayakan sebuah festival, tapi perenungan dan charging batin agar tokoh sejarah tidak menjadi fiktif dalam diri kita, tapi betul-betul secara riil tertanam, mengakar, menggerakkan detak-detak jantung dan aliran darah kita. Para siswi siap2 mendengarkan ceramah agama Wah ada kameramennya juga tuh.. Para guru PPL sedang akting. Apalagi si Pujangga paling kanan.
Ustadz Rizqi Nafis sedang memberikan tausyiyah
Calon2 Koki handal sedang ikut kompetisi.
Jajaran Dewan guru sedang khidmah mengikuti lantunan sholawat Nabi
Waduh, tumpengnya lezat banget. Jadi ngiler nih...
lagi solat Dhuha berjamaah tuh...
Wah, pasukan "peri" lagi solat nih...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H