Lihat ke Halaman Asli

Baharuddin Yusuf

Mahasiswa Pasca Sarjana di Institut Pertanian Bogor (IPB) Universty

Kaleidoskop Identitas: Politik Identitas di Indonesia

Diperbarui: 6 Oktober 2023   09:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Konsep utama dalam teori identitas sosial ada dua, yaitu teori identitas sosial dan teori kategorisasi diri. Teori identitas sosial pertama kali dikembangkan oleh Tajfel dan Turner[1] pada tahun 1979, dengan fokus utamanya pada motivasi dan asal-usul identitas sosial. Ini adalah sebuah kerangka kerja dalam psikologi sosial yang berfokus pada bagaimana individu mengidentifikasi diri mereka dalam hubungannya dengan kelompok sosial tertentu, seperti kelompok berdasarkan agama, etnisitas, nasionalitas, atau kelompok sosial lainnya. Teori Identitas Sosial memberikan pemahaman tentang bagaimana individu mengonstruksi dan memelihara identitas sosial mereka melalui perbandingan dengan kelompok lain, dengan tujuan menciptakan identitas sosial yang positif bagi diri mereka sendiri.

 

Teori kategorisasi diri yang dikembangkan oleh Turner[2] dan rekan-rekannya pada tahun 1987 menekankan aspek kognitif dalam pembentukan identitas sosial. Teori ini lebih berfokus pada bagaimana individu memproses informasi dan konsep-konsep kognitif yang terkait dengan identitas sosial mereka. Hal seperti pemrosesan informasi dan pemahaman konsep memainkan peran penting dalam pembentukan dan pengalaman identitas sosial. Oleh karena itu, teori ini membantu kita memahami bahwa identitas sosial bukan hanya tentang perasaan dan pengalaman emosional, tetapi juga tentang bagaimana individu memproses dan mengorganisir informasi mengenai diri mereka sebagai anggota kelompok tertentu.

 

Akar politik identitas berasal dari pemikiran Foucault tentang politik tubuh atau biopolitik, sejarah seksualitas, dan relasi kekuasaan yang mengelilinginya. Diaspora politik identitas merupakan konsekuensi dari keruntuhan masyarakat ilmiah, yang merupakan upaya untuk mengendalikan demografi dengan tujuan mencerahkan individu. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa politik identitas adalah sebuah perbincangan mengenai kehidupan sehari-hari yang berpusat pada perbedaan, di mana terjadi dinamika dan pertarungan berbagai identitas yang berbeda. Demikian pula, Agnes Heller dan Sonja Punsher[3] mengambil politik identitas yang fokus perhatiannya pada perbedaan. Gagasan utama dari politik identitas adalah hubungan antara identitas dan partisipasi dalam aksi politik[4].

 

Pada tahun 1970-an, ilmuwan sosial mulai memberikan perhatian pada politik identitas, terutama di Amerika Serikat. Ini terjadi karena masyarakat menghadapi tantangan dari berbagai kelompok minoritas yang merasa terpinggirkan dan terdiskriminasi, termasuk isu-isu seperti gender, feminisme, ras, etnisitas, dan kelompok sosial lainnya. Seiring berjalannya waktu, politik identitas ini semakin meluas, termasuk dalam pembahasan tentang agama, kepercayaan, dan aspek-aspek budaya yang memiliki dimensi keagamaan[5].

 

Mengamati sejarah, seperti yang terlihat dalam kasus Kurdi, Kosovo, dan kelompok pejuang Bosnia sebelum Perang Dunia I, di Skotlandia, terdapat konflik antara kelompok Katolik dan Protestan yang telah menjadi bagian dari pertikaian di wilayah Britania Raya. Di Amerika Serikat, perang saudara terjadi. Di Semenanjung Malaya, terdapat konflik antara komunitas pribumi dan non-pribumi. Yugoslavia mengalami pecah belah, sementara Suriah dan Afghanistan mengalami konflik. Selain itu, politik anti-Semitisme dan radikalisme menyebar di berbagai negara[6]. Baru-baru ini, penindasan terhadap komunitas Muslim Uighur di Provinsi Xinjiang, Tiongkok, dan penindasan terhadap kaum Rohingya di Myanmar juga terkait erat dengan isu identitas politik. Semua contoh ini memiliki hubungan yang kuat dengan identitas dan berdampak besar pada politik negara-negara yang terkait.

 

Pasca jatuhnya pemerintahan Suharto dan dimulainya era reformasi di Indonesia, muncul agenda pemekaran wilayah yang bertumpu pada asumsi-asumsi etnis yang lebih spesifik, seperti Banten, Papua, dan Riau. Dampak dari pemekaran ini juga menciptakan ketegangan etnis, yang dipicu oleh ketidaksetaraan ekonomi di beberapa daerah, termasuk Sambas, Aceh, Atambua (pengungsi eks Timor Timur), hingga Papua. Selain itu, fenomena politik identitas juga pernah menimbulkan ketegangan, terutama akibat pernyataan kontroversial Ahok tentang surat Al-Maidah ayat 51 yang dianggap penistaan agama oleh sebagian orang. Reaksi keras dari berbagai kelompok yang merasa identitas keagamaan mereka terancam terwujud dalam aksi demonstrasi 212 pada tanggal 2 Desember 2016, yang dipimpin oleh Gerakan 212 dan mengadvokasi tuntutan agar pemerintah menindak Ahok sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku[7].

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline