Lihat ke Halaman Asli

Politik Kekerasan ISIS Tidak Berdasar

Diperbarui: 30 Desember 2015   19:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada dewasa ini banyak bentuk kekerasan dinisbahkan kepada ummat Islam terutama yang berkaitan dengan tindakan terorisme yang dilakukan kepada non-muslim bahkan kepada kaum muslim sendiri disepanjang sepuluh tahun terakhir. Kekerasan yang tidak pandang bulu ini menyasar semua kelompok dalam masyarakat, dimana saja, kapan saja dan tidak jelas kapan berakhirnya. Kejadian demi kejadian tersebut telah mengundang tanya khususnya bagi umat muslim dan mereka yang menjadi sasaran teror sebenarnya apa yang menjadi dalih yang digunakan oleh para hardliner atau aliran keras ini sehingga merasa yakin untuk mengabsahkan tindakannya tersebut. Diskursus tentang tindakan kekerasan seperti ini kadang tidak mudah karena tafsiran terminologi yang digunakan beberapa pihak secara berbeda-beda dan tujuan yang hendak dicapai tetapi yang lebih penting adalah mengenali faktor penyebabnya.

Dengan menggunakan pendekatan yang dikenal dalam metode pemikiran Islam sebagai dalil akli yaitu secara akal sehat atau rasional dan sejarah sebagai referensinya dapat memberikan gambaran terang tentang konektivitas dan relevansinya terhadap keadaan saat ini. Dalam Islam untuk menentukan suatu hukum pada dasarnya senantiasa merujuk kepada sejarah atau riwayat Rasulullah dan ijma para ulama untuk menentukan suatu tindakan absah atau tidaknya dilakukan apalagi menyangkut kehidupan umat Islam secara universal. Hal ini sebagai metode yang tidak terpisahkan dalam menentukan suatu perkara dalam hukum Islam. Memang pada kenyataannya banyak tafsir yang saling berbeda dan sering menimbulkan perbedaan tajam. Namun demikian dengan menggunakan dua kerangka acuan tersebut yaitu konektivitas dan relevansinya maka sekurangnya dapat menerangkan tingkat keabsahannya.

Bertolak dari kejadian-kejadian tragedi kemanusiaan berupa perang yang saat ini sedang terjadi tak bisa lepas dari konstelasi politik Timur Tengah negara-negara Syria, Irak dan Afganistan. Keadaan tersebut nampak bahwa persoalan yang mengemuka pada dasarnya adalah merupakan masalah politik yang berimbas kepada masalah kekuasaan, kelompok aliran dan akhirnya masalah sosial. Sehingga hanya dengan menitikberatkan diskursus pada satu tema yaitu perbedaan aliran pemikiran atau khilafiyah maka tentu tidak lah mendukung untuk suatu penjelasan yang memadai.

Namun issue khilafiyah inilah yang justru diutamakan oleh para panglima perang khususnya ISIS yang menjadi kawah candradimuka bagi para mujahid, supaya dapat melupakan issue-issue lain yang sebenarnya menjadi dasar munculnya kekacauan sosial tersebut. Penggunaan issue khilafiyah ini terbukti cukup efektif dan banyak sekali yang mengamini, tergiur dan mengikuti bahkan menganggap sebagai misi suci bagi perjuangan ummat Islam universal dengan segala cara demi menegakkan tujuan dunia Islam yang diimpikannya.    

Adalah penting untuk melihat kerangka konektivitas dan relevansinya dalam menentukan apakah pemikiran mereka, para penganut aliran keras ini memenuhi syarat sebagai acuan untuk suatu tindakan. Konektivitas berhubungan dengan peristiwa yang saling mempengaruhi diantara beberapa permasalahan antara lain politik, kekuasaan dan kebijakan pemerintah kedalam dan keluar. Sebagaimana diketahui bahwa kegagalan presiden Syria Bashar al-Assad dalam memerintah dan munculnya perlawanan terhadap pemerintahnya telah membawa perpecahan dalam masyarakat dan seiring dengan kemelut tersebut berdatanganlah dukungan dari berbagai pihak. Persoalan menjadi semakin kompleks setelah adanya dukungan dari negara-negara luar yang saling bertentangan antara yang mendukung regim dan pemberontak.

Disatu sisi pemerintah Presiden Syria Bashar al-Assad mendapat dukungan dari Rusia, Iran, Hezbullah (Libanon) sementara disisi lain para pemberontak mendapat pasokan dari Amerika Serikat, Saudi Arabia, Turki dan Qatar. ISIS (Negara Islam Syria dan Irak) adalah merupakan sempalan dari pemberontak yang muncul akibat adanya perpecahan dalam tubuh pemberontak yang semula berhubungan erat dengan Amerika Serikat. Sementara dalam pacta bersama aliansi Barat melawan ISIS, terlihat Rusia enggan menyerang ISIS karena dianggapnya kurang berbahaya dalam menggulingkan Presiden Bashar al-Assad, lebih baik menyerang Al-Nusra, kelompok pemberontak yang lebih intens menyerang regim Al Assad.

Untuk memperoleh dukungan secara meluas ISIS mengusung gagasan pemerintahan kekhalifahan yang membuat Amerika Serikat meradang karena ISIS bermaksud menghimpun jihadis seluruh dunia dan mempropagandakan permusuhan terhadap Barat dan siapa saja yang mendukung Barat. ISIS akhirnya bergerser perlawanannya tidak hanya kepada regim yang berkuasa tetapi juga kepada para pihak pendukung aliansi Barat. Dari sini dapat terlihat bahwa alur perlawanan bermula dari dalam negeri kemudian ke luar dan dipandu oleh amunisi paham kekhalifahan untuk mencari dukungan dari seluruh dunia. Jelaslah bahwa persoalan politik dalam negeri sebenarnya menjadi issue utama dari pada issue-issue lain.

Sedangkan relevansinya mengacu kepada dasar riwayat yang pernah terjadi. Keadaan ummat baik masa sekarang maupun pada masa lalu terdiri dari beberapa suku ataupun bangsa. Struktur masyarakat yang majemuk adalah suatu keniscayaan oleh karena memang umat manusia secara geografis dan keadaannya berbeda-beda. Sejak awal dalam sejarahnya ummat Islam biasa bersinggungan dengan kaum Yahudi bahkan mereka sendiri yang telah meramalkan bahwa akan datang Nabi terakhir. Dalam menghadapi kaum Yahudi Rasulullah tidak memerangi mereka kecuali kaum Yahudi melanggar perjanjian dan memulai suatu peperangan.

Islam telah memiliki hubungan dan hidup berdampingan dengan umat-umat lain bukanlah hal yang aneh. Bercermin dari riwayat tersebut, pemimpin dalam Islam seyogyanya menyadari diciptakannya keberagaman adalah suatu keniscayaan dan bahwa seorang pemimpin masyarakat mesti menghadapi berbagai bangsa dan agama yang ada dalam masyarakatnya.

Suatu peristiwa bersejarah dalam rangka menata pemerintahan menunjukkan bagaimana Rasulullah membentuk pacta dengan ummat lain untuk menjaga kerukunan antar ummat beragama di Madinah ialah dengan menyusun Piagam Madinah. Piagam Madinah memuat tentang kebebasan kaum Yahudi dan ummat lain untuk menjalankan ibadahnya masing-masing di wilayah yang dikuasai oleh Umat Islam. Dan banyak contoh-contoh lain yang menunjukkan tidak ada unsur kekerasan sama sekali dalam jiwa Rasulullah bahkan ketika Rasulullah sendiri mengalami penganiayaan menolak untuk membalasnya padahal para sahabat menawarkan diri untuk membalas sang penganiaya itu maka jelas unsur suka tidak suka bukanlah menjadi dasar dalam mana Rasulullah membuat suatu keputusan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline