Lihat ke Halaman Asli

Sembilan Puluh Hari

Diperbarui: 6 April 2018   11:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: steemit.com

Dingin telah terlipat dalam sunyi. Hanya menyisakan ruang-ruang lembab. Menebar pada dinding cakrawala yang pelan mulai retak oleh semburat fajar. Pagi itu.

Sayup rincik merambat pada seseorang. Lelaki di bibir jembatan.

Telapak kakinya telanjang. Perlahan menyapa satu demi satu kerikil jalan. Membawanya gontai. Tertatih tanpa tujuan. Tak lama menghilang dibalik kabut yang basah. Putih warnanya[].

----------//----------//----------//---------

Kedua matanya tampak kecil. Lurus tanpa lengkung.

Dia menerawang. Jauh. Menjangkau tepian sudut samudera. Menelisik garis-garis langit. Yang sesaat dihapus buih-buih.

Kakinya telanjang. Menyapa putih bulir pasir. Di pantai. Antara anak-anak kepiting yang berlatih mencari makan. Sesaat menghilang dalam lubang. Sesaat muncul dipermukaan.

Burung camar tak pernah sedih. Ikan-ikan kecil membuatnya bahagia. Sementara anak-anak mereka masih pulas. Dengan mata yang terkunci rapat.Di atas ranting-ranting sarang.

Hanya angin saja yang selalu sibuk. Memadati pantai yang hangat. Bermain bersama ombak. Sesekali membawa debu, melintas bukit di ujung sana. Dia selalu ditunggu nyiur. Dan berdua menciptakan denyit.

Lelaki di garis pantai. Melempar kata-kata ke seberang samudera. Pada separuh hatinnya. Yang dia tau tak akan pernah lagi menemukannya.

Jemarinya tipis. Dengan buku-buku yang halus, menyelinap ke dalam saku celana. Tubuhnya terlihat ringan.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline