Lihat ke Halaman Asli

Lelaki di Bibir Jembatan

Diperbarui: 4 April 2018   11:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: walldevil.com

'Honey'. Dengan kata itu biasa dia dipanggil. Oleh seorang perempuan, yang jadi separuh hatinya. Harinya-harinya sangat lembut. Penuh dengan bahagia, kehangatan dan warna-warni yang tak pernah sepi. Detik-demi-detik adalah nyawa mereka. Karena dengan itu, dihitungnya benih-benih kasih yang telah mereka semai. Berbulan-bulan bahkan menjelang se dekade.  

Tangan-tangan halus mereka selalu menyatu. Menjalin sempurna bagaikan selendang sutera. Dengan motif dan rupa-rupa dari kemeseraan yang paripurna. 'Mereka itu adalah embun dan pagi hari'. Yang sejuknya menyebar dalam basah. Menyapa ranting-ranting untuk menyambut fajar. Kesejukan. Kedamaian dan murni dalam sebuah ciptaan yang manunggal.

Matanya yang kecil, menggariskan cerita dengan aroma abu-abu. Di atas bibir jembatan, dengan tiang-tiang besi yang angkuh, dilepaskannya semua itu. Apapun. Sampai tak ada lagi yang ditinggalkan. Tentang senyuman. Tentang larik-larik romantis. Tengan pelukan yang hangat. Dan tak tersisa lagi satupun-papun! Satu-persatu luruh dalam terjal batu sungai. Yang tekun menyapa arus, meski tanpa balas. Dan riak-riak seolah menertawakan semua itu. Menggulung kenangan-demi kenangan kedalam uap.

Lelaki di bibir jembatan itu hanyalah separuh nyawa. Sedang sebagianya adalah entah.

Ujung-ujung kakinya telah bosan menyentuh tanah yang tanpa harapan. Di depannya hanyalah pekat dengan duka yang terajut pada mendung. Di pagi yang baru saja lahir, dini itu semakin pengab dan menyakitkan. Dia masih berdiri, meski tak lagi paham apa yang sedang dilakukannya.

'Aku ingin menyapa esuk pagi' bisiknya perlahan, dengan ragu-ragu. Namun dia tahu, matahari pasti tak pernah lagi membawa seyuman perempuan itu. Karena jejak-jejak kemarin telah dihapus oleh hujan. Bagi lelaki itu, melihat esuk adalah sebuah kutukan.

Ruang-ruang benaknya terasa mengeras. Seperti tumpkan semen yang telah mengeras. Sedikit berdebu. Dia sadar akan menghirup udara-udara yang runcing. Sementara air matanya sudah habis. Menguap. Bersama pedih yang datang tak berapa lama kemarin. Sehingga tak mungkin baginya untuk menagis lagi.

Detik-detik itu telah berhenti. Baginya. Dan dia telah memutuskan yang terbaik!

Kakinya melangkah sejangkah. Lelaki di bibir jembatan. Digantungkan sepotong kaki kirinya pada udara yang pendar. Setapak melewati bibir jembatan. Perlahan menyampaikan lambaian pada lonjor besi yang telah menemani jalan itu puluhan tahu lalu.

Dan dini hari semakin tumbuh. Benih-benih fajar perlahan bermekaran di atas daun-daun rumput. Arus sungai masih saja tak hentinya meraung. Tiang-tiang jembatan masih teguh, membisu. Tak sepatah katapun yang ditangkap embun, pagi itu.

Dunia telah mulai terang, di satu sisi. Namun di sisi lainya, ....

Sumba:040418




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline