Lihat ke Halaman Asli

Bagus Ubhara

Mahasiswa Pasca

Piutang Macet Berujung Pidana: Kreditur Berakhir Tersangka

Diperbarui: 9 Agustus 2020   07:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Akhir-akhir ini, kasus seperti judul diatas, menjadi sering terjadi. Ilustrasinya: si A memberikan pinjaman uang kepada si B. Namun si B ingkar janji (wanprestasi), kadang memang karena sedang kesulitan menunaikan kewajibannya, kadang memang tidak punya itikad baik menyelesaikan kewajibannya (untuk melunasi utangnya). 

Alhasil si A berusaha menghubungi si B entah lewat telpon, WA, maupun lewat medsos. Disinilah masalah tersebut sering menjadi masalah. Terutama ketika si B karena pusing dikejar-kejar si A untuk melunasi pinjamannya, lalu malah melaporkan si A karena pencemaran nama baik misalnya. 

Sehingga terjadi dalam hal ini, si A yang berniat membantu si B dengan memberikan pinjaman uang, malah dilaporkan ke polisi karena si A menagih utang nya dianggap melanggar hukum ketika menagihnya lewat medsos (UU ITE Pasal 27 ayat 3). Si A sendiri terpaksa menagih si B lewat medsos karena misalnya, ketika menagih si B lewat jalur-jalur pribadi, malah diblokir baik itu lewat telepon, SMS, maupun WA. Sehingga utang piutang sebagai masalah pokoknya, merupakan wilayah perdata, menjadi terseret masuk ke wilayah pidana. Si A posisinya menjadi lemah. 

Pada titik ini, terjadi perbedaan pandangan antara ahli hukum pidana, yakni, apakah si A patut dipidana? Memang ini sulit sekali menarik garis batas yang tegas, kapan, bilamana, muatan posting tersebut patut dipidana atau tidak. Artinya bagaimana cara menagih si A tersebut menjadi ukuran patut atau tidak patutnya si A dipidana. 

Jika menganut paham yang telah lama berlaku, yakni, paham tatbestand, atau secara sederhana, pokoknya selama suatu perbuatan itu memenuhi unsur-unsur delik, maka dia sudah cukup untuk dipidana. Jika menganut paham yang lebih baru, maka masih perlu dilakukan pengujian terhadap kepatutan seseorang tersebut dipidana. 

Saya sendiri menganut jalan tengah dalam kasus diatas. Selama dalam penagihan si A tersebut melalui medos tidak dilakukan secara berlebihan, cukup sopan, dan memang karena akses-akses komunikasinya telah ditutup oleh si B (diblokir), maka sy berpendapat si A boleh jadi telah memenuhi unsur-unsur delik UU ITE ketika menagih lewat medsos, namun seharusnya dimaafkan karena tidak ada pilihan lain. Dia sedang memperjuangkan hak nya (kembalinya uangnya dari si B). 

Pemidanaan si A akan berakibat buruk dalam jangka panjang, akan merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat. Masyarakat akan tertahan untuk hidup saling tolong menolong, termasuk melakukan pinjam meminjam. Buat apa memberikan pinjaman jika malah berujung pidana kan? 

Mempidanakan kreditor menurut kami, menjadi kurang patut. Bahkan ada indikasi, terjadi moral hazard, dengan sengaja meminjam uang, lalu memanfaatkan kreditornya emosi untuk melakukan tuntutan hukum terhadapnya. Bukankah ini menjadi celah yang rawan dimanfaatkan mereka yang berniat jahat ?

Pemidanaan, maka dari itu, seharusnya juga berlandaskan pada kepatutan. Tidak hanya berlandaskan pada asas legalitas formal yang kaku saja. Melainnkan ada pengujian terhadap kepatutan dalam penjatuhannya. Hal ini penting menjadi perhatian para penegak hukum, agar hukum kita menjadi lebih manusiawi. Menjadi selaras dengan semangat hukum progresif dimana hukum adalah untuk manusia. Bukan sebaliknya, manusia untuk hukum.

Hukum pidana, bukan hanya berbicara tentang keterpenuhan unsur-unsur delik. Disana juga ada kemanusiaan, kepatutan. Hukum bukan hanya berdiri diatas landasan logika, tapi juga berdiri diatas etika. Maka, pemidanaan juga harus memiliki nilai-nilai etis.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline