Dalam beberapa tahun terakhir, istilah PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan) telah menjadi mantra yang dipegang teguh oleh berbagai lembaga perguruan tinggi di Indonesia.
Kebijakan ini diperkenalkan sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi melalui mekanisme SPMI (Sistem Penjaminan Mutu Internal).
Namun, penerapan siklus PPEPP tidaklah semudah membalik telapak tangan. Di balik peluang dan harapan besar untuk membawa perubahan signifikan dalam manajemen mutu, tersembunyi berbagai tantangan yang harus dihadapi oleh perguruan tinggi.
Baca juga: PPEPP vs. PDCA
Ketentuan sistem penjaminan mutu internal dan aturan tentang PPEPP muncul sebelumnya pada peraturan menteri Permenristekdikti No 62 Tahun 2016, kemudian muncul peraturan yang terbaru Permendikbudristek 53 Tahun 2023. Dari kedua peraturan tersebut, telah disampaikan tentang tentang mekanisme PPEPP.
Permendikbudristek 53 Tahun 2023, Pasal 68 (1) SPMI diimplementasikan melalui siklus kegiatan yang terdiri atas: a. penetapan standar pendidikan tinggi; b. pelaksanaan standar pendidikan tinggi; c. evaluasi pemenuhan standar pendidikan tinggi; d. pengendalian pelaksanaan standar pendidikan tinggi; dan e. peningkatan standar pendidikan tinggi.
Kendala pertama yang sering muncul dalam penerapan PPEPP adalah soal pemahaman dan kesadaran yang mendalam dan seragam di seluruh tingkatan institusi. Setiap tahap dalam siklus PPEPP---penetapan, pelaksanaan, evaluasi, pengendalian, dan peningkatan---memiliki filosofi sendiri yang harus dipahami secara mendalam oleh pihak-pihak yang terlibat.
Sayangnya, masih sering dijumpai di beberapa perguruan tinggi, mulai dari top manajemen hingga tenaga operasional, masih belum memahami konsep dasar ini. Mereka mungkin memahami tahap-tahapnya secara garis besar saja, tetapi tidak cukup memahami bagaimana tiap tahap terhubung, terintegrasi dan berkontribusi pada peningkatan mutu secara holistik.
Akibatnya, PPEPP sering kali diterapkan secara mekanis, simbolis, hanya sebagai "rutinitas administratif" yang tidak menghasilkan perubahan nyata dalam capaian standar mutu pendidikan.
Lebih lanjut, penerapan PPEPP juga sering terhalang oleh perlawanan (resistensi) terhadap perubahan. Sudah menjadi rahasia umum, perubahan selalu membawa ketidaknyamanan, terutama di lingkungan yang sudah terbiasa (zona nyaman) dengan cara dan metode kerja tertentu.
Pada beberapa perguruan tinggi, budaya organisasi dan nilai-nilai lama yang telah mengakar kuat bisa menjadi tantangan besar bagi implementasi PPEPP. Pimpinan, para dosen dan tenaga kependidikan mungkin merasa putus asa, skeptis atau bahkan terancam oleh perubahan yang diusulkan.