Lihat ke Halaman Asli

Bagus Saputra

penulis amatir

Sebungkus Sate

Diperbarui: 15 Januari 2021   21:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suatu hari, ditengah gerimis manja di sepanjang jalan selepas pulang kerja, aku mampir di sebuah warkop (warung kopi) untuk melepas penat. Perasaan dari tadi serasa tidak enak, ada apa ?(pikirku). "Ah sudahlah mungkin, perasaan capek saja". Tiba-tiba terpikir di benakku tentang keadaan rumah, inginku bergegas pulang tetapi diluar masih hujan deras. Aku ingin menelepon ibu, "oh ya ibuku kan tidak bisa menggunakan ponsel". Keluargaku adalah keluarga klasik, bapak dan ibuku tidak mau dan tidak bisa menggunakan teknologi. Mereka hanya ingin mendengar radio dan menonton televisi, selebihnya mereka melakukan pekerjaan layaknya pada saat aku kecil dulu. 

Perut mulai keroncongan, saku celana hanya tinggal Rp. 40.000, "hah, mau beli apa pulang ini?". Dari kecil, aku memang terbiasa membeli makanan selepas keluar dari rumah, apapun itu. Aku memutuskan untuk pulang dan sesegera mungkin ingin sampai rumah hanya sekedar melihat keadaan rumah apakah baik-baik saja. Di tengah jalaan, yang biasanya aku membeli "Tahu Tek-Tek", kebetulan tidak berjualan hari itu. Lantas aku melanjutkan perjalanan hingga bertemu "Tukang Sate" langganan dari kuliah dulu. Aku berhenti sejenak dan menghitung berapa yang harus aku bayarkan  untuk sebungkus sate dengan uang sisa dari kopi. 

Aku memutuskan untuk membelinya, si ibu tukang sate bertanya, 

"mas kok lama ga kesini? Tumben tidak makan sini", 

"Iya buk, mau dibawa pulang saja". Jawabku.

Aku memang akrab dengan ibu penjual sate, mungkin sangking seringnya makan disini. Setelah selesai, ternyata uangnya cukup meskipun hanya tersisa Rp. 2000 dan aku bergegas pulang.

Setibanya dirumah, aku melihat dari sisi jendela, ibu sedang tertidur di lantai tanpa tikar bersama bapak. Aku bersyukur ternyata mereka dalam keadaan baik, dan ketika pintu rumah aku ketuk dan mengucap salam, ibu berdiri lemas dan menjawab salam ku.

"Sudah pulang, nak?" Tanya ibu.

"Iya bu. Ibu kenapa ? Ini ada sate, mungkin ibu lapar".

"Alhamdulillah, ibu dan bapak lapar nak. Belum makan"

Tanpa mengucap apapun, aku pergi ke kamar mandi dan menangis terseduh-seduh. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya lapar ditengah hujan, aku tidak bisa membayangkan sakitnya perut menunggu kedatanganku dan aku tidak bisa membayangkan perihnya perut sampai berlarut-larut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline