Lihat ke Halaman Asli

Kuda Hitam Pilkada Jakarta

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13419215932038326102

[caption id="attachment_193472" align="aligncenter" width="391" caption="Sumber : Facebook"][/caption]

Rabu, 11 Juli 2012 adalah hari pesta pora bagi warga Jakarta. Khususnya warga yang terdaftar sebagai pemilih tetap di KPUD. Satu hari itu pesta demokrasi akan digaungkan di seantero ibukota untuk pemilhan gubernur 5 tahunan. Hari ini memasuki masa tenang. Berbagai atribut kampanye dilarang beredar dan dihukumi haram. Euforia masyarakat Jakarta tinggal menunggu pergerakan jarum jam hingga esok hari.

Kali ini kita akan kupas satu persatu siapa saja calon yang berhak menyandang predikat sebagai kuda hitam dalam Pilgub DKI. Selain Pasangan Incumbent/Petahana Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Demokrat/PKB/PAN/Hanura), ada lima pasang kandidat yang bakal meramaikan bursa. Yakni Alex Nordin-Nono Sampono (Golkar/PPP/PDS), Hidayat Nur Wahid-Didik Rajhbini (PKS), Joko Widodo-Basuki T. Purnama (Gerindra/PDIP) dan dua pasangan independent yaitu Faisal Basri-Biem Benjamin dan Hendarji Supandji-Riza Patria.

Fakta Para Calon

Tentunya pasangan incumbent mempunyai peluang terbesar dalam memenangkan pilgub DKI kali ini. Kekuatan pasangan ini adalah selain popularitas Fauzi Bowo yang sudah dikenal publik sejak pilgub 2007, FB didukung oleh partai terbesar di parlemen. Dengan mengantongi suara 35% pada pemilu legislatif 2009 tentu pasangan ini akan berkibar di atas angin. Belum lagi suara dari partai-partai pendukung lainnya. Hal inilah yang akan dimanfaatkan incumbent untuk menggaet suara pemilih agar mencapai 51% seperti kampaye satu putaran yang digembor-gemborkan selama ini.

Namun kelamahan pasangan ini adalah kinerja Fauzi Bowo alias Foke masih dipertanyakan banyak pihak. Banyak yang menilai Foke gagal memimpin jakarta terbukti dengan minimnya pembangunan fasilitas publik selama lima tahun belakangan. Terlebih publik pesimistis dengan kinerja Foke jika terpilih kembali dalam pilkada tahun ini. Banjir, Transportasi dan Macet masih menjadi alasan utama ketidakpuasan publik terhadap kinerja Foke. Pemilihnya tahun 2007 pun enggan memilih kembali dan lebih memilih calon lainnya. Selain itu citra partai Demokrat yang merosot tajam juga menjadi faktor utama keterpilihan Foke. Demokrat yang didera badai korupsi para petingginya diyakini akan menurun drastis simpatisannya begitu juga dengan tingat elektabilitas Foke dalam pemilhan esok.

Adapun pasangan Independen Hendardji-Patria dan Faisal-Biem sebenarnya sangat bagus dan kompeten. Mereka  cukup cakap dalam konsep kepemimpinan. Hendardji seorang purnawirawan TNI sedangkan Faisal Basri adalah ekonom yang sudah malang-melintang di dunia ekonomi. Keberadaan mereka yang independent juga menarik kalangan anti-partai untuk menjadikan kedua sosok tersebut sebagai calon alternatif. Sayangnya suara masyarakat yang anti-partai bakal terpecah menjadi dua untuk masing-masing calon. Kelemahan mendasar bagi kedua pasangan itu adalah tidak adanya dukungan partai di parlemen daerah. Segala kebijakan mereka bakal mental ketika harus berhadapan dengan DPRD tanpa ada lobby-lobby khusus kepada fraksi di DPRD. Tentu hal ini akan kembali lagi menjadi conflict of interest. Dengan keadaan yang demikian masyarakat menengah ke atas bakal berpikir ulang untuk mereka berdua.

Pasangan yang diusung partai Golkar, Alex-Nono, kurang cukup memberikan magnet bagi penduduk Jakarta. Meskipun Golkar merupakan mesin partai terbesar jika pemilu diselenggarakan saat ini, hal ini tidak akan mendukung pasangan ini untuk bisa lebih jauh melangkah dalam pertarungan pilgub DKI. Jargon “Tiga Tahun Bisa” terkesan dipaksakan dan belum cukup menarik simpati masyarakat kenapa harus memilih dia. Hal ini didasarkan pada kurangnya pesona dan daya tarik pemilih kepada Alex-Nono. Pasangan ini bakal mengandalkan kader-kader dan simpatisan partai Golkar yang semakin hari semakin kurang dipercaya mengingat terkuaknya kasus korupsi Al-quran oleh kader Golkar dan hal ini akan mempegaruhi simpati  publik. Ketokohan Alex Nordin kurang begitu menggaung di Jakarta bila dibandingkan di kampung halamannya, Sumatera Selatan.

Kuda Hitam

Menurut pengamatan saya kuda hitam pilgub DKI tahun ini bakal dipegang oleh pasangan Jokowi-Basuki atau Hidayat-Didik. Keduanya memiliki karakter pemilih yang berbeda. Jokowi panggilan akrab Joko Widodo yang juga walikota Solo itu memiliki kepribadian yang unik. Dengan berperawakan ceking dan kalem Jokowi mampu merebut pemilih menengah ke bawah dengan mengadakan roadshow ke kampung-kampung pelosok Jakarta. Untuk segment pemilih menengah ke atas dan juga pemilih golput, Jokowi layak diperhitungkan karena pola pikir masyarakat di segment tersebut menginginkan perubahan dan tokoh alternatif. Dan mereka menganggap Jokowi adalah solusi dari keys itu. Jokowi yang terbukti sukses memimpin Solo dengan pembangunan daerah melalui pendekatan personal warga mampu menarik perhatian khalayak tidak hanya warga Solo saja. Berbagai penghargaan sebagai walikota terbaik pun mempengaruhi ketertarikan publik. Terlebih dengan pamornya yang terbang ketika Mobil Esemka menjadi isu nasional, popularitas Jokowi semakin merajalela. Dilihat dari segment kader parpol, Jokowi yang diusung PDIP dan Gerindra ini mampu menggugah warga dengan basic penggemar trah Soekarno dan loyalis Prabowo yang pro kerakyatan.

Kelemahan Jokowi yakni dia disokong kekuatan finansial oleh Prabowo sehingga bukan tidak mungkin jika kelak Jokowi memenangkan pilgub Jakarta dia harus memainkan politik balas budi. Namun dilihat dari pengalamannya memimpin Solo, lelaki kurus penyuka musik metal ini tidak gentar menghadapi tekanan politis seperti pertikaian opini antara Jokowi dengan seniornya di PDIP yang juga gubernur Jateng, Bibit Waluyo, terkait bekas Pabrik Saripetojo agar digusur dan dibangun Mall. Jokowi memilih menjadikan bangunan itu sebagai Cagar Budaya. Dan kemudian Bibit yang mengatakan Jokowi Bodoh kemudian dibalas Jokowi dengan pernyataan “Saya Memang Bodoh”. Hal ini mengindikasikan biarpun kalem Jokowi juga tegas. Lantas apakah dia mampu bersikap tegas di tengah politisasi jika menjadi gubernur Jakarta kelak?

Sedangkan Hidayat Nurwahid yang diusung PKS memiliki kader militan dimana pada pemilu 2009 PKS mendapatkan suara sebanyak 18% dari pilkada Jakarta. Seiring meningkatnya mesin partai PKS tentu sudah menyiapkan srategi khusus untuk meningkatkan suara Hidayat. Jakarta merupakan corong suara PKS mendapatkan suara terbanyak. Oleh karena itulah PKS bakal mati-matian menggerakkan kader-kader partai untuk merayu para pemilih agar Hidayat mampu meraih kursi gubernur. Karena bagi partai-partai yang berkompetisi di pilgub Jakarta, Jakarta merupakan miniatur politik untuk 2014 mendatang. PKS tentu saja tak ingin hanya penggembira saja dalam meramaikan miniatur tersebut.

Di sisi lain kompetensi Hidayat masih dipertanyakan publik. Meskipun hidayat pernah menjadi Ketua MPR namun beliau belum pernah sekalipun memimpin eksekutif. Dan hal ini yang masih menjadi keraguan diberbagai pihak apakah Hidayat bisa memimpin Jakarta.

Kuda Hitam yang dipegang Jokowi atau Hidayat kiranya mampu menggoyang kursi panas Foke sehingga membuat incumbent tersebut layak ketar-ketir. Dengan adanya enam pasang kandidat Foke pantas gundah karena tak mungkin dia menang satu putaran. Dan lawan pada putaran kedua kalau tidak Jokowi ya Hidayat. Kedua pesaing Foke tersebut memiliki kekuatan pemilih yang sama-sama mengakar dan hal inilah yang harus diperhatikan Tim Sukses Foke.

Tanpa bersikap menggurui, sudah sepantasnya warga Jakarta memilih calon gubernur yang dia suka. Memilih calon lama, calon baru, calon nonparpol atau calon alternatif yang dianggap kuda hitam hak pilih tergantung masing-masing. Tentunya kita berharap siapapun gubernurnya Jakarta harus bisa menjadi kota yang dapat disejajarkan dengan kota-kota besar di dunia.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline