Lihat ke Halaman Asli

Bagus Putra W

Suka nulis saja.

Simulakra Pilwakot Semarang: Realitas yang Dikonstruksi

Diperbarui: 23 November 2024   10:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto ilustrasi (Sumber: AI)

MEMBACA gawe besar Pilwakot Semarang mendekati akhir ini semakin menarik dengan pendekatan konsep simulakra yang dipopulerkan Jean Baudrillard. Simulakra sendiri adalah konsep yang cukup kompleks, di mana tiruan atau salinan dari sesuatu yang aslinya tidak ada, atau tidak lagi memiliki realitas yang pasti.  Baudrillard mengembangkan konsep ini secara mendalam, dalam konteks pemilihan umum merujuk pada penciptaan realitas politik yang kerap tidak sesuai dengan kenyataan sebenarnya. Dalam hal ini tanda-tanda politik, citra dan narasi yang dibangun kandidat dan media dapat mengaburkan batas antara nyata dan buatan.

Dalam Pilwakot Semarang, simulakra langsung berkerja secara otomatis ketika masing-masing kandidat mulai menciptakan citra ideal atas dirinya yang mungkin tidak sepenuhnya mencerminkan kepribadian dan rekam jejak mereka yang sebenarnya.  

Melalui iklan, pidato dan media sosial, mereka mencipta persona yang menarik bagi pemilih. Hal ini akan berdampak cukup signifikan, utamanya kepada pemilih pemula yang malas untuk menggali lebih dalam para kandidat atau calon Wali Kota Semarang.  Deteksi awal adalah autentisitas kedua pasangan calon, manakah yang lebih autentik saat mereka menjalani proses kampanye, rekam jejak korupsi adakah? Atau bagaimana citraan mereka di media sosial?

Setelahnya bagaimanakah narasi politik yang dibangun baik untuk citraan pribadinya atau untuk mendowngrade pesaing juga perlu diperhatikan seksama.  Seringkali yang terjadi adalah penyederhanaan isu-isu kompleks dan mengutamakan emosi daripada rasionalitas.  

Framing inilah yang bertujuan untuk keuntungan kandidat tertentu. Ketika isu keterpurukan prestasi klub sepakbola PSIS dikaitkan dengan kandidat 02 mulai mengemuka, tak pelak hal ini cukup mengganggu publik, setidaknya narasi ini cukup mendapat perhatian sejenak. Namun di akhir proses demokrasi ini, masyrakat Kota Semarang mulai mengetahui ujung dari narasi tak elok ini.

Agaknya endorsement narasi ini memanfaatkan politik populisme yang kerap memanfaatkan kemarahan dan kecemasan untuk memperoleh dukungan, bahkan hingga saat ini masih terus untuk memengaruhi masyarakat dengan isu yang sama. Tanda bahwa sebenarnya kreatifitas untuk melakukan kampanye yang elok sudah habis menyisakan kemarahan dan kekecewaan saja.  

Dalam beberapa hal, kejadian ini biasanya akan menjadi bumerang bagi pencipta narasi ini di akhir cerita, entah berhasil atau tidak karena hanya didasari dengan kontroversi saja.

Salah satu unsur terpenting dalam mencipta dan persebaran simulakra adalah media. Sebab media sanggup memilih dan menyajikan informasi dengan caranya sendiri dan menguntungkan kandidat tertentu.  

Dalam politik modern sudah lazim jika kandidat memiliki tim media yang mereka buat sendiri untuk menginformasikan kandidat yang didukungnya. Semua masih wajar ketika yang diberitakan tidak melanggar kaidah jurnalistik dan etika secara umum.  

Celakanya, kadang ini bisa ditabrak dengan bermacam dalih, sehingga masyarakat bisa saja terjerumus karena berita palsu yang diproduksi oleh tim media masing-masing.  Bahkan bisa dengan gegabah membuat berita survei memenangkan calon yang didukungnya, mengundang orang-orang yang dipilih untuk mengamini kemedian disebar secara massif di media sosial tanpa pertanggung jawaban metodologi dan lain sebagainya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline