"Enak mana soto Semarang sama soto Betawi?" tanya teman saya Bagas, mahasiswa perguruan tinggi swasta di Kota Semarang yang tak lulus-lulus di suatu sore saat kami sedang mabar Moblie Legend di depan rumah rekan kami Rudi di wilayah Tembalang, Kota Semarang.
Bagas selama ini memang terkenal tak mau kalah soal pembicaraan apapun, dia merasa paling pinter, paling sangar, meski teman-temannya malah menganggap dia lucu. Hampir setiap hari dia cerita soal (konon) pengalamannya berkelahi dan omong kososng soal keberaniannya. Ibaratnya, kayak singa yang mengaung di dalam arena sirkus, dan penontonnya tepuk tangan.
"Bagas ki wong paling pinter sak dunia. Yen kalah argumen, ngakune infone soko intelijen. Geleme menang terus. Garek diiyoni rakwis. Nggeh, leres, jenengan dao.. jos.. Ben meneng," saran Rudi kepadaku saat Bagas sedang izin buang air kecil di dalam rumah.
Saya memang enggan menjawab pertanyaan itu, karena terlalu melelahkan untuk diperdebatkan. Sebagai mahasiswa ilmu hukum yang belum lulus serta kader organisasi kepemudaan, saya lebih tertarik membicarakan hal seng ndakik-ndakik, ya politik tentunya hehehee.
Apalagi saat ini, menjelang Pemilihan Wali Kota (Pilwakot) Semarang 2024, peta politik di kota ini semakin beragam dengan munculnya beberapa bakal calon yang berasal dari luar Kota Semarang.
Fenomena ini sebenarnya juga sama rumitnya dengan perdebatan yang tidak pernah usai tentang kelezatan kuliner seperti yang disampaikan teman saya Bagas. Meski bagiku sebagai orang yang lahir dan tinggal di Kota Semarang, "Soto Semarang lebih enak dari soto Betawi".
Bukan hanya sekadar klaim, tetapi juga dapat dijadikan metafora untuk menggambarkan pentingnya memilih pemimpin yang benar-benar paham dan mengerti tentang Kota Semarang. Dalam konteks ini, masyarakat perlu cermat dalam memilih calon yang memiliki latar belakang dan pengetahuan mendalam tentang daerah yang akan mereka pimpin.
Soto Semarang dikenal dengan cita rasa yang khas dan bumbu rempah yang kaya, mencerminkan budaya lokal yang telah terjalin selama bertahun-tahun. Begitu pula dengan Wali Kota Semarang, seharusnya memiliki pemahaman yang mendalam tentang karakteristik, budaya, dan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat setempat.
Calon-calon yang bukan warga asli Semarang mungkin memiliki niat baik, tetapi tanpa pengetahuan mendalam tentang keadaan dan kebutuhan masyarakat Semarang, mereka akan kesulitan dalam merumuskan kebijakan yang efektif dan relevan.
Masyarakat Semarang seharusnya tidak hanya terpaku pada popularitas atau janji-janji manis dari para bakal calon yang datang dari luar daerah. Seperti halnya soto, yang membutuhkan keahlian dan pemahaman dalam meracik bumbu dan bahan, seorang pemimpin pun memerlukan keahlian dan pemahaman dalam memimpin dan mengatasi persoalan yang ada.