Di abad ke-21 ini, media sosial menjadi bagian dari kehidupan kita sebagai manusia. Sangat jarang sekali ada orang yang tidak memiliki media sosial saat ini,seolah jika kita ingin dianggap sebagai manusia "normal" kita harus mempunyai dan aktif di media sosial.
Dalam media sosial terdapat banyak sekali hal,mulai dari sesuatu yang sifatnya informatif,bermanfaat,memotivasi,edukatif, sampai dengan sesuatu yang bersifat negatif,seperti isu-isu negatif,ujaran kebencian,dan berita-berita yang tidak benar atau hoax.
Dan media sosial tidak menyaring semua hal itu, jadi semua informasi itu bertebaran bebas di media sosial. Jadi satu-satunya saringan informasi dari media sosial ke dalam pengguna hanyalah pikiran kita sendiri. Maka dari itu kita selalu dituntut untuk bijak dalam ber-media sosial.
Setiap pengguna media sosial bebas mengekspresikan dirinya,termasuk mengeluarkan pendapat-pendapat yang ada dalam pikirannya.Tidak jarang pengguna media sosial memanfaatkan kebebasan dan keterbukaan media sosial untuk menyampaikan keluh kesah dan juga kritikannya terhadap pemerintah dan juga sistem kepemerintahannya,hal ini kadang sangat positif namun terkadang malah sebaliknya.
Sisi positifnya adalah hal ini sangat mencerminkan negara kita berdiri atas demokrasi dimana rakyat dapat bebas berpendapat dan mengutarakan pikiran dan ekspresinya.Dan terkadang hal itu terkadang menjadi sesuatu yang sangat informatif dan memperluas sudut pandang orang yang melihatnya.
Namun yang dikhawatirkan pada hal ini adalah terkadang pengekspresian pendapat yang terdapat pada media sosial adalah berupa opini-opini negatif yang belum tentu kebenarannya. Dan jika opini tersebut beredar secara bebas di media sosial tanpa adanya filter sedangkan kita tidak tau latar belakang para pembaca cuatan tersebut, bisa saja ada yang percaya dengan hal tersebut sehingga yang terjadi adalah penggiringan opini yang menimbulkan persepsi-persepsi yang salah,itula yang ditakutkan dalam kebebasan berpendapat di medsos.
Salah satu contoh adalah pada kasus drummer band SID yaitu jerinx yang terjerat kasus pencemaran nama baik terhadap organisasi IDI(Ikatan Dokter Indonesia) yang menulis cuatan di instagram jika IDI merupakan kacung WHO dalam memanipulasi data korban virus covid-19,jerinx sebagai seorang publik figur yang mempunyai pengikut dan juga penggemar yang berpotensi mempercayai opini yang tidak ada bukti konkretnya tersebut akhirnya ditangkap POLDA Bali dan divonis penjara 6 tahun.
Karena sebab inilah UU ITE diciptakan,undang-undang yang diciptakan unutk kasus-kasus seperti pencemaran nama baik di medsos,ujaran kebencian,hoax dll. tapi UU ITE juga mengundang banyak kontroversi,banyak yang bilang jika UU ITE itu merupakan undang-undang karet untuk melindungi orang-orang yang baper,ada juga yang mengatakan bahwa UU ITE juga menghilangkan kebebasan berpendapat masyarakat pengguna medsos.
Hal-hal seperti benar-benar menuntut kita sebagai pengguna media sosial untuk melebarkan sudut pandang cara kita melihat dan mencerna informasi yang beredar bebas,sehingga kita menjadi pengguna yang "smart" dan tidak mudah tergiring opini-opini yang salah. Perbanyak literasi dan sering melihat "sisi lain dari sebuah koin" adalah kunci menjadi pengguna medsos yang bepikiran terbuka dan bijak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H