Beberapa hari lalu Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan (Perppu 1/2020).
"Hal ihwal kegentingan yang memaksa", sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011), juga parameter yang ditetapkan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009, dirasa oleh Pemerintah telah terpenuhi, sehingga Perppu ini lahir sebagai respon luar biasa untuk menangani dampak yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19.
Dikutip dari laman kemenkeu.go.id disebutkan bahwa Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang terdiri dari Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengantisipasi reaksi COVID-19 dari sisi ekonomi terutama di pasar keuangan, sebab hal ini menimbulkan volatilitas gejolak yang luar biasa.
Lebih lanjut dalam konferensi Pers (01/04), Menteri Keuangan menegaskan bahwa "Extraordinary time required extraordinary policy and action. Oleh karena itu, membutuhkan action dan policy yang extraordinary yaitu kebijakan dan tindakan-tindakan yang tidak akan dilakukan dalam situasi normal,".
Oleh karena kondisi yang sedemikian rupa, Perppu ini selain bermuatan Kebijaan Keuangan Negara dalam menghadapi pandemic global Covid-19, juga memberikan kewenangan kepada anggota KSSK untuk mengambil tindakan-tindakan sesuai kewenangannya masing-masing yang pada pokoknya untuk menyelamatkan perekonomian nasional dan menjaga stabilitas sistem keuangan.
Melihat materi muatan Perppu 1/2020 ini, sejatinya Pemerintah bukan saja sedang menggunakan kewenangan atributif berdasarkan konstitusi, tapi juga sedang menggunakan kewenangan diskresinya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU 30/2014).
Dalam Pasal 1 angka 9 UU 30/2014 dijelaskan bahwa "Diskresi adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundangundangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan".
Nah, yang menarik dalam Perppu 1/2020 ini, tercantum pada Pasal 27 ayat (1), (2) dan (3), yang ternyata menimbulkan polemik dan suara sumbang ditengah masyarakat, dan tidak sedikit yang mem-framing bahwa Pemerintah melalui ketentuan ini ingin menciptakan kekuasaan absolut.
Salah satu anggota Komisi VIII DPR RI, dikutip dari laman dpr.go.id/berita (akses 03/04), mengingatkan agar pemerintah tidak mencuri kesempatan di tengah situasi krisis menyusul terbitnya Perppu 1/2020. Lebih lanjut, salah satu Wakil Ketua MPR sebagaimana dikutip harianterbit.com/nasional (akses 03/04), menuding Pemerintah ingin berlindung dengan Pasal tersebut agar tidak bisa terjerat kasus korupsi.
Sebelum kita mengulas apakah materi muatan Pasal 27 Perppu 1/2020 seperti yang dikhawatirkan banyak pihak, ada baiknya kita coba menggali terlebih dahulu latar belakang lahirnya ketentuan Pasal ini.
Penulis bukan penggagas dan juga tidak mengikuti proses lahirnya Perppu 1/2020 sehingga tidak dapat mengemukakan suasana kebatinan para penyusun Perppu ini khususnya Pasal 27 ayat (1), (2) dan (3).