Beberapa waktu lalu Mahkamah Konstitusi memutus pengujian Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian yang diajukan oleh beberapa orang pemegang polish Asuransi AJB Bumiputera 1912 sebagai para pemohon. Alasan pengujian yang diajukan oleh Para Pemohon pada pokoknya sehubungan dengan belum diterbitkannya undang-undang yang terkait usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (mutual) sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 7 ayat (3) UU 2/1992, menurut Para Pemohon hal tersebut telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang berkepanjangan sehingga tidak sejalan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan menimbulkan perlakuan yang tidak sama dihadapan hukum (non equality before the law) sehingga bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.
Terhadap permohonan tersebut, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi telah memutus dengan amar yang pada pokoknya menyatakan bahwa frasa "....diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang" dalam Pasal 7 ayat (3) UU 12/1992, bertentangan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai "....’diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang' dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan Mahkamah ini diucapkan";
Majelis hakim Mahkamah Konstitusi memutus berdasarkan pertimbangan belum adanya undang-undang yang mengatur khusus mengenai Usaha Bersama sebagaimana diamanatkan Pasal 7 ayat (3) UU 2/1992 telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi penyelenggara asuransi yang berdasarkan Usaha Bersama (mutual) karena penyelenggara asuransi yang berdasarkan perusahaan perseroan dan koperasi telah memperoleh kepastian hukum dengan adanya undang-undang yang mengatur khusus untuk itu, sehingga dalam hal ini telah terjadi perlakuan yang tidak sama oleh negara. Disamping itu, badan Usaha Bersama (mutual) merupakan bentuk usaha yang sesuai dengan amanat Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan "perekonomian disusun sebagai Usaha Bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Oleh karenanya, bentuk Usaha Bersama mempunyai peran dalam menyusun perekonomian yang berdasar atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi yang mengutamakan kemakmuran anggotanya atau masyarakat.
Menurut Penulis, putusan ini jelas membawa konsekuensi bagi pembentuk undang-undang (Pemerintah dan DPR) untuk segera menyusun dan membentuk undang-undang baru yang mengatur mengenai bentuk badan hukum Usaha Bersama (mutual) dibidang usaha perasuransian dalam waktu paling lama dua tahun enam bulan, dan jika dalam kurun waktu yang telah ditentukan, belum ada undang-undang dimaksud, maka ketentuan Pasal 7 ayat (3) UU 2/1992 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Selain itu, menurut Penulis putusan ini juga membawa multiplier effect bagi sistem administrasi badan hukum di Indonesia, karena pada dasarnya badan hukum dengan bentuk Usaha Bersama (mutual) tidak dikenal di Indonesia. Sebagaimana diketahui, dalam sistem hukum Indonesia mengenal dua jenis badan usaha, yang pertama badan usaha berbadan hukum dan yang kedua badan usaha tidak berbadan hukum. Contoh badan usaha berbadan hukum yaitu seperti Perseroan Terbatas, Koperasi dan Yayasan, sedangkan badan usaha tidak berbadan hukum seperti Persekutuan Perdata, Perusahaan Perseorangan (UD/PD), Firma, Persekutuan Komanditer (CV) yang keseluruhan bentuk badan usaha/hukum tersebut telah diatur dalam peraturan perundang-undangan terkait.
Lalu dimana kedudukan badan usaha berjenis Usaha Bersama (mutual). Inilah yang menurut Penulis merupakan multiplier effect, karena mau tidak mau, suka tidak suka, atas putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, Indonesia harus segera meng-introduce jenis badan usaha berbadan hukum yang baru, yakni badan hukum Usaha Bersama (mutual)..
Pada dasarnya, jenis badan Usaha Bersama (mutual) dapat dikategorikan sebagai persekutuan perdata (maatschaap), namun jenis ini tidak berbadan hukum. Persekutuan Perdata diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Pasal 1618 s.d. 1652, dan jika dilihat dari sifatnya, Usaha Bersama memenuhi kualifikas sebagai persekutuan perdata karena: 1) Tidak ada ketentuan tentang besarnya modal minimal; 2) Dasar pembentukannya adalah perjanjian timbal balik; 3) Adanya inbreng artinya masing-masing sekutu diwajibkan memasukkan uang, barang-barang dan lainnya ataupun kerajinannya ke dalam perseroan itu. Wujud inbreng dapat berupa: (a) Uang, (b) Barang, (c) Tenaga; 4) Dengan tujuan membagi keuntungan di antara orang-orang yang terlibat; 5) Bidang usahanya tidak dibatasi.
Sehingga jika jenis badan Usaha Bersama (mutual) tidak "dipaksa" untuk menjadi badan hukum, maka ketentuan-ketentuan dalam KUH Perdata tentang persekutuan perdata tersebut, cukup untuk dijadikan payung hukum bagi keberadaan Usaha Bersama (mutual) dilingkungan dunia usaha, sehingga oleh karenanya, Indonesia tidak perlu membentuk undang-undang baru yang mengatur badan hukum Usaha Bersama. Namun palu sudah diketuk, konsekuensi hukum-pun sudah jelas, Indonesia akan segera memiliki jenis badan usaha berbadan hukum baru yakni badan hukum Usaha Bersama.
Mengetengahkan Usaha Bersama (mutual) sebagai badan hukum secara konsepsional harus memenuhi teori tentang badan hukum seperti teori fiksi dari Von Savigny, teori harta kekayaan bertujuan dari A. Brinz, teori organ/realis dari Otto Van Gierki (dikutip dari Johannes Ibrahim (2006;48)). Dari kesemua teori tersebut, dapat disimpulkan bahwa suatu badan hukum harus memenuhi setidaknya lima persyaratan, yakni: 1) mempunyai harta kekayaan yang terpisah; 2) mempunyai tujuan tertentu; 3) mempunyai kepentingan sendiri; 4) mempunyai organisasi atau alat perlengkapan badan yang teratur; 5) mempunyai hak dan kewajiban sebagai badan hukum sehingga dapat dipertanggungjawabkan sebagaimana layaknya manusia (orang).
Dengan demikian badan hukum Usaha Bersama (mutual) nantinya disatu sisi harus dapat memenuhi persyaratan sebagai badan hukum sesuai teori tersebut di atas, di sisi lain juga harus mengelaborasi sifat-sifat dasarnya sebagai persekutuan perdata, sehingga diharapkan lahirnya bentuk badan hukum Usaha Bersama ini sesuai dengan filosofi yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, yang selanjutnya diharapkan dapat berperan dalam menyusun perekonomian yang berdasar atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi yang mengutamakan kemakmuran masyarakat.
Pada akhirnya, mari kita kita nantikan para pembentuk undang-undang melahirkan jenis badan usaha berbadan hukum baru yang akan turut meramaikan dunia usaha perasuransian di Indonesia, meski dengan satu pertanyaan menggelitik apakah undang-undang tentang badan hukum Usaha Bersama yang akan dilahirkan hanya akan mengatur AJB Bumiputera sebagai badan usaha satu-satunya di bidang perasuransian yang berjenis Usaha Bersama (mutual). Layakkah sebuah undang-undang hanya mengatur secara spesifik satu subyek hukum, lalu bagaimana dengan syarat formil dan syarat materiil yang harus terpenuhi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, insya Alloh akan penulis bahas pada kesempatan berikutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H