Lihat ke Halaman Asli

Sembarang Catatan Soal Kebudayaan

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa yang tidak kenal SM*SH ?. Kalau ada yang tidak kenal, saya berasumsi hanya ada 2 kemungkinan penyebabnya. Pertama, anda tidak punya televisi, atau kedua, anda punya televisi tapi tidak punya antena. Terlalulah, menurut saya, jika ada yang tidak kenal nama satu ini, sebab hampir dipastikan setiap hari wajah mereka nongol di layar televisi. Beberapa bahkan berpendapat mereka adalah pionir kembalinya era kejayaan Boyband. menggantikan redupnya pamor pop melayu (saya merinding ketika menulis genre musik ini). Ya, dengan lagunya yang bikin kepala saya "cenat-cenut", SM*SH telah menjadi ikon baru industri -bukan dunia- musik Indonesia. 7 lelaki muda bertalenta (katanya), telah menyihir puluhan juta pasang mata anak muda Indonesia. Yang kemudian memicu lahirnya lebih banyak lagi grup vokal penjual atraksi sambil bernyanyi (lipsync?). Dan kini, mereka menginvasi hampir semua infotainmet maupun acara musik yang tujuannya itu ARiT (Asal Rating Tinggi). Tidak terlalu mengherankan, bagaimana mereka bisa begitu tenar dan menguasai langit permusikan Indonesia, meskipun pada dasarnya sama sekali tidak layak untuk itu. Sebab lewat aksi blow-up sistemik media, jangankan Boyband, kambing etawa pun bisa jadi idola anak muda berikutnya, yang meraih penghargaan Platinum karena suara "mbeeekk"-nya terbanyak di download sebagai ring back tone (RBT) handphone. Cara itu juga yang membenarkan karya abal-abal dan tanpa tanggung jawab moral macam Tuti Wibowo yang "Hamil Duluan" atau Melinda yang getol ber-"Cinta Satu Malam" saja, diterima khalayak dengan tangan terbuka, diputar dengan intensitas mirip alat keruk Freeport di Papua, untuk didengarkan oleh masyarakat tanpa pandang bulu. Dari manula sampai balita yang baru bisa bilang "mama...". Sementara musisi-musisi jenius dengan karya-karya yang super sekali, harus merangkak di bawah tanah demi memperjuangkan idealismenya, artis-artis ini mendapat tempat dengan begitu mudahnya. Anggaplah jika selera musik berbanding lurus dengan tingkat kemadanian suatu masyarakat, maka itu artinya, tingkat kemadanian masyarakat kita masih berkutat di zona degradasi, dengan hanya mengoleksi 3 poin dari 10 pertandingan, 3 hasil seri, sisanya kalah (loh ????).

Bukan hanya dunia musik, dunia perfilman dan persinetronan Indonesia pun tidak mengalami kemajuan yang berarti sejak ditinggal orde baru. Isinya begitu-begitu melulu. Sinetron yang mengajarkan kebaikan bisa dihitung dengan jari. berbanding terbalik dengan sinetron yang mengajarkan kontinuitas (bayangkan, ada sinetron yang sampai punya 7 atau 8 seri, dan per serinya bisa sampai ratusan episode, super sekali.) atau yang mengajarkan amoralitas. Dunia perfilman kita juga tidak jauh beda, ya 11-12 lah dengan sinetron. Maraknya sineas muda dengan otak horor bin cabul, benar-benar merusak citra layar lebar kita. Sangat disayangkan ketika film-film KW-1 (kebanyakan indie) besutan sineas berbakat dan bermoral, ditimpa film yang ge-je (ga jelas). Sinkritisme antara semi esek-esek dan horor yang tanggung. Menyedihkan?, ya. Memprihatinkan?, pasti. Lalu?. Toh, kita tidak bisa berbuat terlalu banyak selain melayangikan kritik atas nama moral masyarakat. Sebab pemerintah pun sepertinya tidak ambil pusing. Yang penting produsernya rajin bayar pajak, urusan lainnya bisa dikompromikan, iya toh?. Memang, sekarang eranya reformasi. Kebebasan adalah hal yang sejajar dengan urusan perut. Bahkan sampai ada yang mengutamakan perkara kebebasan ini daripada urusan perut keluarganya. Tapi itu bukan alasan untuk kita bisa serta-merta anti-kritik, apalagi jika kritik itu bertujuan menbangun. Apa sulitnya sih memotong beberapa adegan yang dinilai tidak layak. Atau apa sulitnya mengganti sosok miyabi dengan Five-v atau Sarah Azhari. Dan yang paling penting, apa sulitnya untuk tidak berpikir cabul ketika menggarap sebuah film.

Beralih ke masalah obyek dimana 2 hal diatas adalah subyeknya. Kawula muda hari ini, jika tidak bisa dikatakan memalukan, amat sangat menyedihkan. Bisa kita lihat di media elektronik, kehidupan remaja sekarang benar-benar keterlaluan. Imbas dari aksi serampangan tanpa tanggung jawab artis-artis kacangan yang bersimbiosis dengan pengusaha dan media. Kebanyakan bangga menjadi follower dengan tingkat duplikasi yang akut. Maka tidak heran kalau industri pakaian tidak mengalami inflasi dan penurunan angka penjualan, meskipun saat ini gerakan "occupy" merebak di seantero jagad yang menggoyang kuasa nyaris mutlak kapitalisme. Tinggal ganti barang dagangan dengan yang sedang happening, dan, boom, keuntungan besar bisa diraih. Mudah bukan?.

Belum lagi dengan mental anak muda yang sepertinya stagnan di ketiak kemapanan mainstream. Kehilangan jati diri tanpa mereka sadari. Urat malu yang makin hari makin kendor. Tingkah laku yang lebay versi alay. dan endemi virus mas tamim (maskulin tapi feminim) yang semakin mengkhawatirkan. Tidak usah jauh-jauh kalau kita mau melihat contoh nyatanya. Setiap hari di acara musik berlabel "arit" seperti yang saya kemukakan diatas, kita bisa menyaksikan itu semua lewat tingkah polah segerombolan anak muda (yang dalam bahasa gaulnya disebut gruppies). Para aktivis depan kamera. Partisipan seharga uang jajan yang entah bagaimana mau saja disuruh berpose dan bergoyang mengiringi alunan lagu menyedihkan dari artis-artis kacangan. Meskipun jika diperhatikan baik-baik, semua gerakannya sama sekali tidak ada korelasi dengan lirik-lirik lagu yang dilantunkan. Begitulah generasi harapan bangsa kita saat ini. memang, pasti ada anomali di setiap wacana. tapi sepertinya, media terlalu baik hati memilih mendominasi paradigma masyarakat dengan hal-hal remeh-temeh. Daripada mengangkat leburnya gerakan mahasiswa dan pemuda bersama rakyat jelata, yang berdiri di depan moncong senjata aparat negara yang mereka biayai, demi menentang pembangunan tambang pasir besi di Kulon Progo misalnya.

Kembali ke masalah media. Masih ada yang percaya dengan berita hari ini?. Bagus jika masih ada yang percaya. Itu artinya persepsi saya bahwa budaya cuci otak via media masih ampuh sampai sekarang terbukti benar. Tekhnik yang dimulai di masa keemasan rezim orba itu masih mumpuni menguasai masyarakat. Dan jika ada yang tidak percaya, maka selamat. Mungkin anda termasuk orang yang punya daya kritis di atas rata-rata. Tengoklah media yang katanya kredibel dalam hal pemberitaan. Apanya yang kredibel kalau ternyata penyandang dananya adalah tokoh politik dengan segudang dosa. mulai dari mengemplang pajak, sampai lepas tanggung jawab atas tragedi akibat human error penambangan yang diplesetkan sebagai bencana alam. Atau apa yang bisa dipercaya, jika setiap setengah jam sekali, laporan gerak politik salah satu ormas yang sekarang meluaskan sayapnya menjadi partai politik, diumbar begitu vulgar plus bumbu-bumbu kebajikan yang sedap. Hanya karena lagi-lagi, orang nomer satu media itu adalah orang nomer satu juga di ormas. Masihkah kita harus percaya?.

Jadi mulailah berpikir diluar apa yang dicekoki media. Kalau perlu, matikan televisi. Lebih baik membaca langsung dinamika masyarakat, bangsa, dan negara, daripada menelan mentah-mentah laporan media. Itu lebih baik saya kira. Dan mualilah untuk berpikir melawan budaya yang telanjang erotis ironis didepan kita. Bukan bermaksud sok bijak dan menggurui. tapi ini tanggung jawab kita bersama, sebagai massa rakyat yang sadar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline