Lihat ke Halaman Asli

Poros Tengah Gerakan Mahasiswa: Postmodernisme Berbasis Nilai

Diperbarui: 18 Juni 2015   04:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tulisan ini adalah karya yang pernah dikompetisikan dan mendapatkan penghargaan Juara I dalam Even Peringatan Hari Ulang Tahun Fordimapelar. Sedikit banyak terinspirasi dari wacana postmodernisme yang disampaikan Ridwansyah Yusuf

Setiap mahasiswa memiliki cara yang berbeda dalam mendifinisikan dirinya. Hatta menyebut mahasiswa sebagai ‘kaum intelegensia’, yaitu kaum yang bergerak dengan modal dan semangat intelektual. Gie menyebut mahasiswa sebagai ‘happy selected few’, yaitu sedikit orang terpilih yang mendapatkan kenikmatan jenjang pendidikan. Lalu dari lintasan pengertian tersebut, ada sebuah persamaan yang dapat ditarik untuk mendefinisikan mahasiswa, yaitu mahasiswa merupakan orang-orang terdidik yang memikul tanggung jawab perubahan.

Untuk menjalankan tanggung jawab perubahan, mahasiswa mengaktualisasikannya dengan gerakan. Pada setiap zaman, gerakan mahasiswa selalu mengisi ruang-ruang perbaikan. Sebut saja mulai dari Budi Oetomo,  Indonesische Vereeninging, Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia, hingga gerakan Reformasi yang berhasil menumbangkan rezim orde baru. Pergerakan di atas adalah sebagian kecil bukti sejarah dari hasil nyata gerakan mahasiswa.

Gerakan mahasiswa selayaknya merupakan perwujudan dari fungsi mahasiswa. Secara umum, mahasiswa dikenal memiliki tiga fungsi. Yaitu fungsi Agent of Change, Social Control, dan Iron Stock. Namun sayangnya, sejak tumbangnya rezim orde baru, gerakan mahasiswa menjadi tumpul dalam perwujudan cita-citanya. Ketiga fungsi yang melekat pada gerakan mahasiswa tidak bisa diwujudkan dan mulai digantikan oleh kelompok-kelompok lain.

Misalnya, fungsi Agent of Change lambat laun mulai memudar. Mahasiswa yang seharusnya menjadi garda terdepan penggerak perubahan dinilai mulai apatis terhadap berbagai permasalahan. Tidak jauh berbeda, fungsi Social Control, juga mulai tergantikan oleh fungsi kelompok lain. Kini, fungsi social control lebih efektif dijalankan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat sebagai watch dog dari pemerintah. Misalnya, Indonesia Coruption Watch, KPK Watch dan masih banyak lagi lembaga lainnya. Terakhir adalah fungsi Iron Stock. Mahasiswa yang seharusnya menjadi generasi baru pengganti generasi lama, ternyata belum cukup efektif menjalankannya. Gayus Tambunan contohnya, sebagai seorang pemuda yang pernah bergelar mahasiswa, ternyata dalam usia muda telah terjerat kasus korupsi.

Sejalan dengan berbagai permasalahan tersebut, kini mulai muncul arus postmodernisme. Postmodernisme merupakan reaksi dari modernisme. Ada dua versi pendapat tentang konsep postmodernisme. Pertama, konsep yang dikemukakan oleh Lyotard dalam karyanya “The Postmodern Condition” sebagai kritikan atas karya “The Grand Narrative” yang dianggap sebagai dongeng hasil karya modernitas. Dia mengungkapkan, postmodernisme merupakan lawan dari modernisme yang tidak berhasil mengangkat martabat manusia modern.

Kedua, konsep yang dikemukakan oleh Bryan S. Turner dalam karyanya “Theories of Modernity and Post-Modernity.” Bryan menganggap postmodernisme merupakan pengembangan dari modernitas. Postmodernisme adalah bentuk modernitas tinggi yang ditandai oleh radikalisme dan globalisasi. Meskipun terdapat perbedaan konsep dari kedua pengertian tersebut, sebuah kesamaan yang bisa ditarik adalah postmodernisme lahir setelah adanya tahap modernisme. Konsep pertama merupakan anti-thesis modernisme, sedangkan yang kedua merupakan elaborasi dari modernisme.

Pada konteks kemahasiswaan, gerakan mahasiswa mengalami dikotomi menjadi dua gerakan, yaitu gerakan mahasiswa konvensional dan gerakan mahasiswa postmodernis. Gerakan mahasiswa konvensional adalah gerakan mahasiswa yang masih dipengaruhi oleh romantisme gerakan 98. Gerakan mahasiswa konvensional biasanya ditandai dengan visi gerakan yang utopis, gerakan yang sturktural, dan menggunakan narasi-narasi besar dalam perwujudan gerakan. Sebagian besar, mahasiswa yang ada dalam gerakan ini berada dalam Organisasi Ekstra Kampus seperti PMII, KAMMI, HMI, GMKI, atau GMNI. Oleh sebab itu, gerakan ini seringkali mengalami benturan ideologi, sehingga yang terjadi adalah debat dan diskursus ideologi.

Sedangkan gerakan mahasiswa postmodernis adalah gerakan mahasiswa yang mengikuti arus globalisasi zaman. Gerakan mahasiswa postmodernis adalah bentuk pelarian dari gerakan mahasiswa konvesional yang tidak mampu menjawab permasalahan bangsa dan lambat laun semakin memudar. Sehingga gerakan mahasiswa porstmodernis biasanya memiliki ciri irasionalitas, lokalitas, anti-konflik dan populis. Gerakan ini menolak narasi besar karena dianggap utopis dan menyebabkan perpecahan di kalangan internal mahasiswa. Gerakan ini lebih menyukai narasi-narasi kecil yang rasional dan dapat dilaksanakan, sehingga seringkali pemimpin gerakan mahasiswa postmodernis bukan lah pemimpin yang memiliki kemampuan orasi, melainkan pemimpin yang memiliki kemampuan komunikasi efektif yang toleran terhadap perbedaan pandangan.

Paradoks yang terjadi pada kedua gerakan ini tidak terletak pada perbedaan ideologi, melainkan pada perbedaan cara dan metode bergerak. Bisa jadi mahasiswa yang berada dalam arus gerakan postmodernisme juga terdapat dalam struktur organisasi ekstra kampus. Memiliki ideologi yang sama dengan gerakan mahasiswa konvesional, hanya saja memiliki pandangan yang berbeda terhadap cara bergerak. Masyarakat umum dan mahasiswa non-pergerakan lebih nyaman dengan gerakan mahasiswa postmodernis karena lebih sesuai dengan arus zaman. Namun, postmodernisme juga memiliki kendala konkritisasi cita-cita karena sifatnya yang masih lokal.

Beranjak dari perbedaan tersebut, penulis menawarkan gagasan poros tengah gerakan mahasiswa, yaitu postmodernisme berbasis nilai. Gerakan mahasiswa ini merupakan berntuk sinergi antara arus gerakan mahasiswa konvensional dan arus gerakan mahasiswa postmodernis. Dua arus ini selayaknya beradaptasi satu sama lain. Namun, penulis menyarankan, selayaknya gerakan mahasiswa konvensional lah yang terlebih dahulu memulai, karena strukturnya yang lebih kuat dan tidak bersifat lokal.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline